Hasil Survei Kuliah S2-S3: Mahasiswa Alami Krisis Biaya Hidup dan Gagal Lulus

Ilustrasi mahasiswa/i di perguruan tinggi.
Sumber :
  • UPDMB

VIVA Edukasi – Krisis biaya hidup menjadi penyebab mahasiswa tingkat S2 dan S3 di berbagai negara mengalami kesulitan keuangan. Kondisi ini menjadi salah satu temuan dalam survei platform publikasi riset Nature 2022 baru-baru ini.

Sri Mulyani Pede Inflasi Melandai di Kuartal-II 2024 Seiring Turunnya Harga Beras

Hasil survei Nature menemukan, bahwa ada 85 persen mahasiswa terkonsentrasi di dunia khawatir apakah uangnya cukup untuk membeli makan, membayar uang sewa tempat tinggal, dan membayar biaya hidup lainnya.

ilustrasi mahasiswa

Photo :
  • U-Report
5 Kota dengan Biaya Hidup Termurah di Indonesia,Tegal Termasuk?

Hampir setengah atau 45 persen dari total 3.200 responden mahasiswa S2-S3 juga setuju bahwa naiknya biaya hidup berisiko membuat mereka akan putus kuliah.

Kekhawatiran tentang masalah keuangan terutama merebak di tengah mahasiswa yang berada di wilayah Amerika Utara. Tiga perempat atau 76 persen responden mendapati bahwa biaya hidup menjadi masalah utama untuk lulus kuliah.

Gandeng IEP, Kemenag Buka Peluang Sinergi dengan Perguruan Tinggi Amerika

Berdasarkan catatan Nature, inflasi  yang terjadi di Amerika Serikat mencapai 8,2 persen per September 2022. Sementara itu, indeks harga konsumen di Inggris naik 10,1 persen selama 12 bulan terakhir. Kondisi ini diperkirakan tidak segera membaik dalam waktu dekat.

Para mahasiswa juga mengaku kesulitan melanjutkan pendidikan sampai lulus sambil berusaha mencukupi kebutuhan hidup.

"Sulit untuk fokus pada penelitian, pembelajaran, bimbingan, menulis makalah, dan mendaftar untuk program hibah ketika saya tidak punya cukup uang untuk makanan," tulis mahasiswa PhD Biologi di Amerika Serikat pada survei tersebut, dilansir dari laman Nature.

Kerja Menyambi Kuliah

Ilustrasi Mahasiswa Mengerjakan Skripsi (Gambar: Shutterstock)

Photo :
  • vstory

Hampir satu dari empat mahasiswa S2-S3 bekerja sambilan, berdasarkan survei Nature ini. Sebanyak 64 persen di antaranya mengaku untuk membantu membayar biaya hidup dan membatasi tambahan sambil merampungkan perkuliahan.

Sementara itu, 13 persen lainnya mengaku kerja sambilan untuk mengembangkan skill tambahan, dan 22 persen lainnya beralasan lain.

Berdasarkan daerah studi, sebanyak 57 persen mahasiswa mengikuti di kawasan Australasia memilih untuk kerja sambil kuliah, disusul 53 persen mahasiswa di Afrika, 39 persen di Amerika Selatan, 23 persen di Amerika Utara dan Tengah, 19 persen di Eropa, dan 13 persen di Asia.

Ilustrasi mahasiswa

Photo :
  • U-Report

Nathan Garland, matematikawan di Griffith University, Brisbane, Australia menuturkan, para mahasiswa juga sering mengajar untuk bisa membayar biaya hidup sehari-hari.

Intinya, biaya hidup mahasiswa menonton di Australia setara dengan dua pertiga upah minimum nasional di sana. Kondisi ini menyebabkan banyak mahasiswa terpaksa mencari-cari pekerjaan di kampus untuk membawa tambahan.

Kecenderungan kerja sambilan ini terutama dilakukan oleh mahasiswa S2 (31 persen). Kondisi ini diperkirakan karena uang yang didapat mereka, termasuk dari beasiswa, seringkali lebih kecil dari mahasiswa PhD. Di samping itu, aturan mahasiswa S2 untuk mengambil kerja sambilan relatif lebih fleksibel daripada mahasiswa S3.

Kuliah di Kota Serta Biaya Hidup Tinggi

Ilustrasi Mahasiswa TI

Photo :
  • U-Report

Di India, mahasiswa S2 dan S3 cenderung terpaksa tinggal di kota-kota dengan biaya hidup tinggi karena kampus-kampus terbaik berada di area metropolitan.

“Kampus-kampus bagus ada di kawasan metropolitan, tepat di daerah keramaian dan hiruk pikuk,” kata ekolog sosial Amit Kurien.

Mahasiswa PhD di Boston University, Massachusetts Carly Golden juga menuturkan kesulitan kuliah di kampus yang terletak di salah satu kota termahal di Amerika Serikat.

Ilustrasi mahasiswa bekerja.

Photo :
  • U-Report

"Saya menghabiskan lebih dari 60 persen uang gaji untuk biaya sewa tempat tinggal" kata Golden.

Sebagai mahasiswa PhD, Golden memperoleh uang gaji 40 ribu dolar (sekitar Rp 625,7 juta) per tahun. Sementara itu, biaya hidup satu orang di Boston berdasarkan kalkulator Massachusetts Institute of Technology yaitu 47 ribu dolar (sekitar Rp 735,2 juta) per tahun.

"(Pemasukannya) sudah mendekati tingkat reruntuhan di Boston," kata Golden.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya