Mengenang Ali Alatas

Dubes Soemadi: Tulisan Pak Ali Sangat Rapi

VIVAnews - Sedih kehilangan panutan sekaligus teman bermain golf. Itulah yang dirasakan oleh diplomat senior Soemadi Brotodiningrat setelah mendengar mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas tutup usia, Kamis 11 Desember 2008. Menjadi bawahan langsung Alatas ketika pertama kali bekerja di Departemen Luar Negeri pada 1965, Soemadi melihat mantan atasannya tersebut tidak saja terlatih sebagai diplomat ulung, namun benar-benar terlahir menjadi juru diplomasi Indonesia.

"Beliau sangat teliti, disiplin dan rapi. Tulisan tangannya saja rapi sekali," tutur Soemadi, yang telah berdinas di sejumlah pos penting di Departemen Luar Negeri - antara lain sebagai Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jepang, dan Amerika Serikat serta juru runding Indonesia untuk Perjanjian Kerjasama Ekonomi dengan Jepang. Terakhir kali Soemadi bekerja sama dengan Alatas sebagai anggota ASEAN Eminent Persons Group - yaitu kelompok kehormatan yang bertugas merumuskan kerangka dasar penyusunan piagam ASEAN.

Kepada reporter VIVAnews, Harriska Adiati, di kantor Departemen Luar Negeri Jakarta, Selasa 11 Desember 2008, Soemadi menceritakan kesan-kesannya tentang Alatas, yang dimakamkan Jumat 12 Desember 2008 .

Kapan pertama kali Anda mengenal almarhum?
Awal 1965, Ali Alatas adalah atasan pertama saya. Waktu itu beliau adalah kepala direktorat penerangan. Pekerjaannya mengurusi wartawan. Saya masuk Deplu pertama kali di situ. Jadi di situlah saya kenal beliau. Saya langsung melihat kepiawaian beliau sebagai diplomat.

Sebagai orang baru, saya sangat terkesan. Waktu itu beliau masih sangat muda (33 tahun) untuk posisi kepala direktorat penerangan, sekaligus pada waktu itu beliau juga menjadi juru bicara. Menjadi juru bicara sekaligus kepala direktorat penerangan. Itu kan hebat. Sejak saat itu saya melihat dia sebagai panutan.

Nekat Selundupkan Sabu di Sepatu, Pengunjung Rutan di Tangerang Ditangkap

Apa yang membuat Anda kagum dari seorang Ali Alatas?

Ada orang yang memang terlahir sebagai  diplomat atau ada juga orang yang menjadi diplomat karena dilatih, maka Ali Alatas itu keduanya. Dia terlahir, sekaligus terlatih sebagai diplomat. Beliau itu sangat teliti, disiplin, rapih, bagus dalam filing. Waktu itu tidak ada komputer, tetapi beliau menyimpan rapi semua file-filenya. Tulisan tangannya saja rapi sekali. Dia terbuka pada anak buahnya. Kalau beliau nilai bisa bekerja sama, kepercayaan kepada anak buah sangat besar.

Pengalaman apa yang berkesan saat bekerja bersama almarhum?
Saya beruntung karena draft pekerjaan yang saya ajukan secara substantif tidak beliau ubah. Tetapi ketelitian beliau, bukan main… sampai titik koma. Naskah atau draft yang kita ajukan, oleh beliau dibaca betul sampai titik koma, sampai kata-kata yang kurang “s” kalau dalam bahasa Inggris, sampai salah ketik. Itu tidak pernah luput dari pengawasan.

Charly Van Houten dan Muhammad Daud Kolaborasi dalam Lagu Tulang Rusuk

Padahal draft yang masuk bukan hanya dari saya. Apalagi waktu beliau menjabat sebagai menteri, draft diajukan oleh banyak orang, dan beliau dengan teliti membacanya. Padahal dia sangat sibuk, tapi semua hal dapat dilakukan secara detil. Saya sampai heran. Sampai pensiun pun [keheranan] itu tak terjawab.

Bagaimana Anda melihat peran Alatas sebagai menteri luar negeri (1988-1999)?

Pembalap Indonesia Qarrar Firhand Berhasil Finis Kelima di Trofeo Andrea Margutti

Di kalangan kolega-kolega kabinet, beliau cukup respektif, baik di bidang politik dan ekonomi. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah hubungan beliau dengan mitra wicara di luar negeri. Nama Ali Alatas sebagai menteri luar negeri Indonesia banyak sekali dikenal di luar. Teman-teman beliau banyak sekali, baik di kalangan PBB dan bilateral, karena memang pribadinya mengesankan.

Orang kalau ketemu beliau pertama kali, jadi terkesan dan ingat. Figur seperti beliau itu bagi menteri luar negeri sangat menguntungkan, untuk pencitraan, dan sebagainya. Dengan popularitas yang beliau miliki, beliau meningkatkan citra negara kita.

Apa menurut Anda jasa-jasa almarhum sebagai diplomat dan menteri?

Sebelum jadi menteri saja beliau sudah berperan. Dulu, waktu PBB membicarakan dan mengesahkan Program Komoditas Terpadu (PKT) atau Intergrated Program of Commodity, saat itu beliau sedang menjabat sebagai duta besar di Jenewa, beliau tidak hanya menjadi juru bicara Indonesia saja, tapi juru bicara negara-negara berkembang.

Dan kita bisa meng-goal-kan PKT itu dengan dana bersama (common fund). Itu salah satu prestasi beliau yang menonjol pada waktu masih muda, saat menjadi duta besar di Jenewa tahun 70-an. Dan saya bangga menjadi pengganti beliau menjadi duta besar di Jenewa walaupun bukan pengganti langsung.

Kemudian di PBB di New York, beliau pernah menjadi ketua Komisi I keamanan internasional dan pelucutan senjata. Setelah jadi menteri, lebih banyak lagi jasanya. Yang pertama common fund itu tadi.

Berikutnya, pada waktu pembentukan APEC di Australia tahun 1989. Indonesia waktu itu adalah ketua standing committee dari ASEAN. Jadi beliau mewakili ASEAN dalam pembahasan pendirian APEC. Dan saya kira sampai dengan sepuluh tahun pertama, peranan ASEAN dalam APEC cukup besar.

Itu saya kira karena rambu-rambu yang telah ditanamkan Pak Ali Alatas mengenai pentingnya ASEAN di dalam APEC. Jadi, pada waktu itu, dengan adanya APEC, ASEAN bukan tergerus, bukan disisihkan. Istilahnya ASEAN adalah “at the driver seat”- ASEAN yang mengemudikan. Ya mungkin sekarang sudah sedikit lain karena ada perluasan APEC dan perluasan ASEAN.

Ketiga, pidato-pidato beliau itu selalu bagus. At least rumusan akhirnya selalu beliau sendiri yang mengerjakan. Beliau punya bakat, bahkan saya sebut kegemaran untuk merumuskan pidato-pidato yang bagus.

Apa pidato almarhum yang paling berkesan?
Banyak, tapi satu yang kebetulan saya ikut bantu saat kerja sama tentang Indian Ocean, kami katakan bahwa Samudra Atlantik adalah samudra masa lalu. Samudra Pasifik adalah samudra masa kini, dan Samudra Hindia akan menjadi samudra masa depan. Sayangnya, kerja sama itu sendiri masih tertatih-tatih padahal itu sangat penting karena Indonesia terletak antara dua samudra, Pasifik dan Hindia. Pasifik sudah masuk APEC. Nah, Hindia ini kita tunggu..

Bagaimana hubungan Pak Ali dengan keluarganya?
Satu hal yang mengesankan bagi saya adalah dalam satu kesempatan beliau pernah mengatakan: Kalau istri seorang dokter itu takut darah, si dokter masih bisa jadi dokter yang baik. Kalau istri seorang pilot itu takut terbang, sang pilot masih bisa jadi pilot yang baik. Tetapi kalau istri diplomat tidak punya perhatian terhadap masalah-masalah pergaulan internasional dan diplomasi, jangan harap diplomat itu menjadi diplomat yang baik. Jadi peranan istri atau suami dalam pekerjaan diplomasi itu sangat besar. Sebagai seorang yang sopan, beliau memang tidak pernah memuji istrinya secara langsung. Namun anak buahnya bisa melihat betapa serasinya mereka. Bukan hanya sebagai atasan saja beliau menjadi panutan, tetapi sebagai kepala keluarga, beliau bisa menjadi panutan.

Kapan terakhir bertemu almarhum?
Lebaran lalu waktu kami datang ke acara open house beliau. Setelah itu kebetulan kami tidak bertemu. Sayang sekali pada waktu beliau dirawat di rumah sakit Medistra, saya dan istri saya berangkat ke sana..kami tiba pukul setengah 2, tetapi terlambat karena Pak Ali sudah dibawa ke Singapura.

Saya merasa kehilangan. Dari pengelihatan saya, akhir-akhir itu dia kelihatan capek, meskipun masih memaksakan diri untuk hadir di acara silahturahmi.

Saya mendengar kabar beliau meninggal dari teman-teman dan dari salah seorang menantunya. Kami beberapa kali main golf bersama. Beliau tidak cukup mahir bermain golf tapi not bad. Golf itu kegemarannya, jadi bukan untuk meraih prestasi. Pernah waktu main golf tiba-tiba beliau kena serangan jantung.

Apakah akan ada menteri seperti sosok Pak Ali?
Saya dan Pak Ali pasti mengharapkan ada yang bisa menggantikan sosok seperti beliau. Kami yakin dari 220 juta penduduk Indonesia ada yang bisa menyerupai atau bahkan lebih baik daripada beliau.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya