Beda Norwegia dan AS Hadapi Serangan Teroris

Suasana di Oslo, Norwegia, setelah ledakan bom 22 Juli 2011
Sumber :
  • AP Photo/Fartein Rudjord

VIVAnews - Pemerintah Norwegia memilih bersikap tenang pasca serangan teroris Jumat pekan lalu yang menewaskan 76 orang. Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg, mengatakan Norwegia tidak akan seperti Amerika Serikat yang bereaksi keras pasca penyerangan teroris ke New York pada 11 September 2001.

Tidak seperti Amerika Serikat yang langsung menerapkan aturan ketat terhadap para imigran Timur Tengah, Stoltenberg mengatakan Norwegia justru akan lebih terbuka terhadap warga asing. Ini untuk mencegah berkembangnya paham ekstremisme sayap kanan yang anti Muslim, sosialis dan budaya-budaya lain, seperti yang dianut pelaku teror, Anders Bevrik.

Pelatih Timnas Brasil Peringatkan Real Madrid soal Endrick

Sejak penyerangan Jumat pekan lalu, Stoltenberg dan anggota keluarga kerajaan Norwegia justru bersikap terbuka. Mereka kini lebih sering tampil di muka publik. Kehadiran mereka di tengah masyarakat juga tidak dengan pengawalan yang sangat ketat.

Stoltenberg juga memuji sikap masyarakat Norwegia yang menanggapi penyerangan dengan bijaksana. Ratusan rakyat turun ke jalan mengenang korban tewas dengan tenang dan tanpa kericuhan, apalagi sampai menuding kelompok tertentu bersalah.

"Masyarakat yang demokratis dan terbuka sangat mungkin diwujudkan bersamaan dengan pengamanan yang ketat dan tidak bersikap naif," ujar Stoltenberg, seperti dilansir kantor berita Associated Press (AP), Kamis, 28 Juli 2011.

Langgar Privasi

KLHK: 3,37 Juta Hektare Lahan Sawit Terindikasi Ada dalam Kawasan Hutan

Sikap terlalu tenang dan menghadapinya dengan terukur ini berbeda jauh dengan sikap AS pasca runtuhnya menara kembar WTC di New York. Menurut AP, inilah yang menyebabkan pemerintah AS gemas dengan Norwegia yang dinilai terlalu lambat dan lembek menanggapi penyerangan.

Sesaat setelah serangan 11 September 2001, warga Muslim di AS tiba-tiba menjadi kambing hitam. Sebanyak 80.000 warga Arab dan imigran Muslim diambil sidik jarinya dan didaftar ulang berdasarkan Undang-undang Pendaftaran Warga Asing tahun 1940. Sebanyak 8.000 warga Arab dan Muslim diinterogasi, dan sebanyak 5.000 warga asing ditangkap, dengan alasan dicurigasi terlibat jaringan teror.

Undang-undang Patriot yang diterapkan oleh Presiden George W Bush kala itu, memungkinkan aparat melanggar hak privasi dan melampaui wewenang pengadilan dalam menuduh seseorang teroris. Undang-undang ini juga menghalalkan AS menyadap semua bentuk komunikasi, baik email maupun telepon, antara warganya dengan warga di luar negeri.

Osama bin Laden dengan jaringan al-Qaeda menjadi sasaran utama. Serangan 9 September juga memberikan pembenaran bagi Bush untuk menyerang Irak dan pemerintahan Taliban di Afghanistan. Kedua negara ini oleh AS dianggap sarang teroris.

Berbanding terbalik dengan AS, Stoltenberg tidak menerapkan peraturan apapun. Dia hanya menyampaikan bahwa negara dalam keadaan berduka dan investigasi terus dilakukan. "Saya menangis, dan saya katakan kepada banyak orang, jangan menahan tangis kalian," kata Stoltenberg. (ren)

BI Catat Modal Asing Kabur dari Indonesia Rp 1,36 Triliun
Penyakit Demam Berdarah di Jakarta dikatakan meningkat sejak memasuki tahun 2024.

Waspada! Demam Berdarah Mengganas, Jakarta Jadi Episentrum dengan 35 Ribu Kasus

Angka kasus demam berdarah di Indonesia kembali meningkat. Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan hingga Kamis sore 28 Maret 2024 tercatat sudah ada 390 kematian

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024