- REUTERS/Sergei Karpukhin
VIVAnews - Pemerintah Rusia mengatakan bahwa tragedi di Suriah yang menewaskan ratusan orang, puluhan di antaranya anak-anak, jangan hanya menyalahkan pemerintah Suriah. Menurut Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, pemberontak juga harus bertanggungjawab atas insiden tersebut.
"Siapa yang salah harus dilihat secara obyektif. Perlu dua orang untuk menari tango," kata Lavrov, dikutip dari Ria Novosti, Senin 28 Mei 2012.
Kendati demikian, tanggung jawab terbesar, ujarnya, tetap dibebankan pada pemerintah. Pada sebuah komentar yang jarang dilontarkan, Lavrov mengatakan bahwa pemerintahan Bashar al-Assad memang benar telah menggunakan persenjataan berat untuk menggempur warga.
"Tidak diragukan lagi, pemerintah Suriah menggunakan artileri dan tank. Setiap pemerintahan di setiap negeri seharusnya memiliki tanggung jawab untuk keamanan warganya," kata Lavrov.
Lavrov menjelaskan bahwa ada puluhan pemain dalam kekerasan di Suriah. Dia mendesak PBB untuk membentuk tim investigasi di negara tersebut. "Kita perlu tahu mengapa ini terjadi dan memastikan tidak akan terulang di masa depan," kata Lavrov.
Kehilangan Simpati
Bersama dengan China, Rusia adalah sekutu utama Suriah. Beberapa kali resolusi Dewan Keamanan PBB untuk krisis di Suriah dipatahkan kedua negara yang menjadi anggota tetap dewan tersebut. Rusia dan China ingin agar Suriah menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa ada campur tangan orang lain.
Gempuran tentara Assad di kota Houla, Jumat pekan lalu, menewaskan 108 orang, lebih dari 30 di antaranya anak-anak. Seluruh anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk China dan Rusia, mengutuk serangan tersebut. Berdasarkan komentar Lavrov di atas dan sikap Rusia di DK PBB, disinyalir dukungan pemerintahan Kremlin untuk Suriah mulai goyah.
Alexei Malashenko, ahli Timur Tengah di Carnegie Moscow Center, mengatakan bahwa Rusia yang sedikit demi sedikit mundur dari mendukung Suriah akan membuat Assad berpikir dua kali.
"Bashar Assad membuat dirinya dan Suriah terpojok. Bashar pasti yakin bahwa dia akan kehilangan simpati Rusia, dan mundur perlahan," kata Malashenko. (ren)