Bunuh Diri Karena Bullying "Hantui" Jepang

Anak-anak Jepang
Sumber :
  • Reuters/Carlos Barria

VIVAnews -- Dupa dibakar di pojok ruang tamu keluarga Nakai, di altar sembahyang untuk putri mereka, Yumi, yang bunuh diri tujuh tahun lalu. Kala itu, gadis cilik usia 12 tahun tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Melompat dari kondominium.

"Kami tak pernah mengira itu terjadi," kata ayahnya, Shinji, seperti dimuat CNN. "Dia tipikal "anak ayah", kami pergi berenang dan main ski, sama-sama suka jalan-jalan. Saya yakin sebuah kesalahan telah terjadi".

Sementara Sang Ibu, Setsuko, menyalakan lilin di altar putrinya. Selama tujuh tahun duka itu tak beranjak pergi. Ia tak pernah luput mendoakan putrinya setiap hari.

Setsuko yakin, bullying, pelecehan yang dialami Yumi adalah penyebab utama putrinya itu putus asa dan memutuskan bunuh diri. Dia ingat, beberapa bulan sebelum tragedi itu, Yumi bercerita, ia diejek teman-teman sekelasnya.

"Aku menelepon sekolah dan bicara soal itu pada gurunya," kata Setsuko. "Guru itu bilang, ia akan menangani masalah itu. Dia tak pernah menelepon balik, jadi kami asumsikan masalah telah diselesaikan."

Dalam sebuah catatan yang dibuat sebelum bunuh diri terjadi, Yumi mengungkapkan keputusannya untuk bunuh diri "mungkin akibat perbuatan teman-teman sekelasnya, tekanan belajar, juga ujian."

Hingga kini, orang tua Yumi masih berjuang, melakukan upaya hukum melawan sekolah yang dianggap lalai mencegah bullying. Juga Dewan Pendidikan yang dianggap Kitamoto yang tak memperpanjang kasus itu.

Dalam pernyataannya kepada CNN, dewan pendidikan mengatakan, pihaknya telah melakukan investigasi termasuk mendengar keterangan keluarga. "Mengumpulkan sebanyak mungkin informasi mengenai kemungkinan terjadinya bullying." Sementara dari penyelidikan pihak sekolah, tak ditemukan informasi yang berkaitan dengan aksi bunuh diri Yumi.

Kasus yang membuat Jepang syok

Gugatan hukum kasus Yumi, menyusul kasus bullying yang membuat Jepang syok. Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun bunuh diri tahun lalu di Otsu, juga diduga akibat bullying. Ia bahkan dipaksa melakukan adegan bunuh diri.

Seperti dimuat Japan Times, 22 Juli 2012, bocah tersebut menjatuhkan diri dari kondominium keluarganya pada 11 Oktober 2011. Keluarga yang tak terima kematian yang tak wajar itu mengajukan gugatan kompenssasi sebesar 77 juta yen melawan Pemerintah Otsu.

Awalnya, pihak pemerintah menepis kaitan bunuh diri dengan bullying, namun pada 17 Juli 2011, pemerintah menawarkan penyelesaian damai. Walikota Naomi Koshi bahkan meminta maaf pada keluarga korban.

Yang sangat disayangkan adalah, guru korban yang tak mengindahkan kejadian bullying yang menimpa muridnya. Menurut kepala sekolah dan dewan pendidikan kota, enam hari sebelum tragedi bunuh diri, wali kelasnya mengetahui bahwa korban ditindas di toilet dan dipukuli.

Para guru dianggap gagal mengikuti pelajaran dari kasus bullying masa lalu bahwa jika mereka menerima informasi apa pun mengisyaratkan penindasan murid, mereka benar-benar harus menyelidikinya. Untuk tidak melakukan pembiaran.

Sementara, seperti dimuat Asahi Shimbun, belajar dari kasus di Otsu, polisi di Osaka pada 25 Juli 2012, menahan tiga murid setingkat SMP kelas tiga yang diduga pelaku bullying adik kelasnya, dengan cara membakar rambut korban dengan rokok dan mematahkan hidungnya. Polisi juga menempatkan dua anak lainnya, kelas dua SMP, ke pusat rehabilitasi.

Menurut Kepolisian Osaka, lima remaja tanggung itu mengaku menindas rekannya hanya untuk bersnang-senang.

Ungkit Panasnya Debat di Pilpres 2024, Prabowo: Tapi Kita Tetap Satu Keluarga
Sejumlah pengendara kendaraan bermotor mengalami kemacetan lalu lintas di Tol Dalam Kota dan Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta, Senin (18/5/2020).

8 Negara dengan Penurunan Tercepat di Asia

Seringkali, negara di Asia mengalami fluktuasi yang signifikan dalam berbagai indikator kunci seperti pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan stabilitas politik.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024