24-5-1968: Presiden Prancis Tantang Para Demonstran

Charles de Gaulle
Sumber :
  • Bundesarchiv, B 145 Bild-F010324-0002 / Steiner, Egon / CC-BY-SA
VIVAnews
Kemenangan Prabowo-Gibran Diharap Jadi Peluang Kembangkan Ekonomi Berbasis Laut
- Pada 45 tahun yang lalu, Prancis dilanda demonstrasi dan aksi mogok kerja secara besar-besaran selama tiga pekan. Menanggapi aksi massal itu, Presiden Charles de Gaulle justru menantang para mahasiswa dan buruh demonstran dengan ucapannya yang terkenal, "Dukung saya atau pecatlah saya."

EVOS dan Pop Mie Rayakan 6 Tahun Kolaborasi, Perkuat Komitmen untuk Majukan Esport Indonesia

Menurut stasiun berita
Pembunuhan di Wonogiri Ternyata Motifnya Sakit Hati, Korban Tidak Boleh Balikan dengan Mantan
BBC , saat itu de Gaulle berpidato yang ditayangkan oleh jaringan televisi nasional. Dia meminta rakyat Prancis mendukung program reformasinya. Bila menolak, dia bersedia mengundurkan diri. Pilihan itu, menurut de Gaulle, akan diwujudkan melalui referendum di akhir 1968.


Dalam pidatonya, de Gaulle menyatakan bahwa Prancis sudah "di ambang kelumpuhan" dan terancam perang saudara bila aksi protes dan mogok massal terus berlanjut. Aksi ini diikuti sekitar delapan juta buruh, yang merupakan sepertiga dari total tenaga kerja di Prancis.


Mereka menggugat pemerintah atas diskriminasi, kesenjangan sosial dan kemiskinan yang melanda para buruh dan mahasiswa. Gelombang demonstrasi nasional itu berawal dari aksi protes para mahasiswa di Paris, yang menggugat tindakan represif  pihak keamanan atas kebebasan berekspresi. Agenda dan skala aksi pun melebar saat kaum buruh ikut bergabung dalam unjuk rasa di jalan.


Demonstrasi terbesar berlangsung di Ibukota Paris, dimana puluhan ribu demonstran bergerak dari Place de Bastille menuju Place de la Republique. Demonstrasi itu diikuti dengan aksi pengrusakan dan baku hantam antara demonstran dan aparat keamanan.


Pidato Presiden de Gaulle tidak langsung meredakan situasi, bahkan dalam beberapa menit kerusuhan pecah lagi di Paris, Lyon, Nantes, Bordeaux, dan Strasbourg. Pemerintah sampai mengerahkan tentara dan tank di luar Paris pada 29 Mei untuk mengantisipasi gerakan kaum revolusioner.


Atas desakan perdana menterinya, de Gaulle akhirnya tidak jadi menggelar referendum. Sebagai gantinya, berlangsung perundingan antara delegasi pemerintah, pengusaha, dan kaum buruh yang berlangsung alot. 

 

De Gaulle akhirnya bersedia menggelar pemilihan umum di akhir Juni 1968. Gelombang demonstrasi pun surut di masa kampanye. Bahkan partai pimpinan de Gaulle menang mutlak di Pemilu setelah opini publik menujukkan kekesalan atas aksi brutal para demonstran.


Namun, pemerintahan baru langsung serius menerapkan sejumlah program reformasi, terutama di bidang pendidikan dan menyelenggarakan pemerintahan yang lebih demokratis. Presiden de Gaulle, salah satu pahlawan Prancis semasa Perang Dunia Kedua, akhirnya mengundurkan diri pada 1969 setelah dia kalah dalam suatu referendum mengenai reformasi politik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya