Australia Sadap Presiden SBY Paska Ledakan Bom Marriot II

Presiden SBY dan Tony Abbott
Sumber :
  • Biro Pers Istana Presiden/Abror Rizki
VIVAnews - Aksi penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Australia (DSD) terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara Ani Yudhyono dan orang-orang terdekatnya, hanya berselang satu bulan setelah aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, Jakarta, yang terjadi pada Juli 2009. 
Menkes Budi Paparkan Penanganan Penyakit Arbovirus

Menurut seorang analis pencegahan aksi teror dari Universitas Monash, Greg Barton, adanya serangan bom tersebut semakin memberikan motivasi bagi DSD menyasar beberapa figur penting Indonesia sebagai target spionase. 
Gugatan Kubu Anies dan Ganjar Ditolak MK, Pengamat: Tuduhan Pilpres Curang Terpatahkan

Stasiun berita ABC News, Senin 18 November 2013, melansir kedua bom ketika itu meledak hanya berselang lima menit. Dalam peristiwa itu, tujuh orang tewas dan melukai 50 orang lainnya. 
Kemenkominfo Mengadakan Kegiatan Talkshow "Etika Pelajar di Dunia Digital"

Tiga korban tewas di antaranya merupakan warga negara Australia. Mayoritas korban luka juga merupakan warga Negeri Kanguru, sebab orang Australia seringkali menjadikan kedua hotel ini sebagai tempat berkumpul. 

"Itu merupakan kali kedua yang tidak beruntung bagi Hotel Marriot. Sebuah pertanyaan lantas terlontar, apakah ada hal lain di balik aksi teroris individu yang dilakukan oleh Noordin Top atau akan ada aksi yang lebih besar lagi?," tanya Barton. 

Peranan Noordin di Kelompok Jamaah Islamiyah waktu itu, tidak hanya bertindak sebagai perekrut anggota, tetapi juga sebagai ahli strategi dan penyandang dana bagi organisasi sempalan Al-qaida tersebut. Selain mendalangi aksi bom bunuh diri di kedua hotel tadi, Noordin turut menjadi otak aksi pengeboman Hotel Marriott di tahun 2003, Kedutaan Besar Australia pada 2004 dan bom Bali II tahun 2005 silam. 

Padahal, menurut ABC News, DSD sudah berniat mengetahui apa yang terjadi di Indonesia. Namun, momen meledaknya bom Marriott benar-benar dijadikan penentu. 

"Anda dapat bayangkan, salah satu hal yang ingin diketahui Badan Intelijen Australia yakni apakah Pemerintah Indonesia memiliki petunjuk lain mengenai beberapa aksi atau mereka tidak percaya bahwa semua informasi terkait aksi itu sudah dibagikan," papar Barton. 

DSD, lanjut Barton, mungkin percaya kepada Pemerintah Indonesia dan Presiden SBY. Namun, ada kemungkinan DSD tidak mempercayai pihak-pihak yang bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia untuk memecahkan kasus pengeboman waktu itu. 

"Jadi DSD kemungkinan berpikir, bahwa orang-orang ini sengaja dibiarkan tertekan oleh seseorang di dalam jejaring militer. Polisi bisa jadi tidak bertindak secara transparan, oleh sebab itu mereka merasa perlu tahu," imbuh Barton. 

Apabila Anda, lanjut Barton, memang mempercayai para penegak hukum, maka DSD tidak begitu saja meyakini penilaian mereka dalam mengintepretasikan suatu hal. "Anda lebih memilih mendapatkan data mentahnya secara langsung, sehingga dapat diatur," kata dia. 

Noordin memang akhirnya tewas terbunuh dalam aksi baku tembak di Desa Kepuhsari, Mojosongo, Solo pada 17 September 2009. Lalu, apakah memang ada hubungan antara aksi pengeboman, waktu yang ditetapkan DSD untuk menyadap SBY, dengan kematian Noordin? 

Jawaban tentu tidak akan diperoleh dari pejabat berwenang Pemerintah Negeri Kanguru dalam waktu dekat. 

Kebanyakan mereka akan menutup mulut. Namun, respon defensif dari Perdana Menteri Tony Abbott, cukup mengejutkan. 

Di hadapan sidang Parlemen, Abbott menyebut semua pemerintahan negara di dunia ini lazim melakukan pengumpulan informasi terhadap negara lainnya. Namun, pernyataan Abbott itu dibantah Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. 

"Saya punya berita bagi Anda. Indonesia tidak melakukan pengumpulan informasi semacam itu. Kami pasti tidak akan melakukannya di antara negara mitra sendiri," ungkap Marty saat memberikan keterangan pers sore tadi. 

Marty akhirnya memutuskan untuk menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, kembali ke tanah air untuk berkonsultasi. Belum diketahui kapan dia akan terus berada di Indonesia. 

Sementara Presiden SBY melalui penasihat politiknya, Daniel Sparringa, mengaku kecewa terhadap aksi negara mitra terdekatnya itu. 

"Hingga hari ini, Presiden SBY, selalu memperhatikan secara seksama terkait hubungan mendalam di antara kedua negara. Namun, pemberitaan ini telah menghancurkan hubungan kedua negara," ujar Sparringa seperti dikutip Harian Sydney Morning Herald.

Apabila tidak ada tindakan yang serius, lanjut Sparringa, untuk segera mengatasi isu ini, maka hal itu dapat terus menganggu hubungan kedua negara. 

"Presiden SBY berharap Pemerintah Australia akan kembali meninjau pendekatan yang mereka gunakan untuk mengumpulkan informasi," kata dia. (adi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya