Tradisi Pembantaian Lumba-lumba di Jepang Picu Kecaman

Nelayan Jepang di Taiji membantai lumba-lumba
Sumber :
  • REUTERS/Adrian Mylne
VIVAnews -
Jokowi: Indonesia Succeeded in Reducing Stunting Rate
Ritual pembantaian lumba-lumba di sebuah kota kecil di Jepang kembali memicu kecaman. Dalam tradisi tahunan ini, pada nelayan di kota Taiji menggiring ratusan hingga ribuan lumba-lumba ke sebuah teluk kecil, lalu dibunuh atau ditangkap untuk dijual.

Kunci Pelita Jaya Bekap Prawira Bandung dan Lolos Putaran Final BCL Asia

Diberitakan
Kata PSSI Usai Perpanjang Kontrak Shin Tae-yong
Daily Mail , pembantaian sudah mulai berlangsung di Taiji. Aksi para nelayan itu direkam oleh kelompok pecinta laut Sea Sheperd. Dalam foto-foto mereka diperlihatkan ratusan lumba-lumba jenis hidung botol berhasil digiring menggunakan jaring ke tepian.

Dalam beberapa foto di tahun-tahun sebelumnya, lumba-lumba ini langsung dibunuh, membuat lautan memerah darah. Aktivis Sea Sheperd, Mellisa Sehgal, mengatakan butuh waktu sekitar 20 hingga 30 menit bagi lumba-lumba itu untuk mati. Entah karena mereka terluka, sesak nafas atau tenggelam dalam proses penggiringan.


Lumba-lumba hidung botol kerap diincar nelayan karena selain bisa dimakan dagingnya, bisa juga dijual ke pertunjukan aquarium. Seekor lumba-lumba yang sehat bisa dihargai US$200.000 atau Rp2,4 miliar per ekornya oleh aquarium di seluruh dunia. Harga akan semakin melambung jika lumba-lumba itu berjenis albino yang sangat langka.


Aksi ini menuai kecaman tidak hanya dari para aktivis pecinta binatang. Duta Besar Amerika Serikat untuk Jepang, Caroline Kennedy, dalam akun Twitternya berkicau menentang pembantaian mamalia ini.


"Saya sangat prihatin oleh tindakan perburuan dan pembunuhan lumba-lumba yang sangat tidak manusiawi. Pemerintah AS menentang aksi perburuan yang dilakukan para nelayan," tulis putri mendiang mantan presiden AS John F Kennedy itu.


Kecaman juga datang dari istri salah satu personil The Beatles, Yoko Ono. Dalam surat di situs pribadinya, janda John Lenon ini meminta para nelayan Taiji untuk berhenti membantai lumba-lumba itu, karena hal tersebut dapat membahayakan masa depan Jepang.


"Justru itu akan memberikan sebuah alasan bagi negara besar dan anak-anak mereka di China, India, dan Rusia untuk membicarakan hal yang buruk mengenai Jepang," tulis Yoko.


Sejak Abad ke-17


Warga Taiji telah sejak abad ke-17 melakukan berburuan lumba-lumba dan paus. Tahun 1675, kota kecil ini diyakini sebagai pusat perburuan paus. Pembantaian lumba-lumba terungkap ke masyarakat dunia berkat sebuah film dokumenter berjudul The Cove.


Tradisi ini dimulai pada bulan September hingga Maret tiap tahunnya. Menurut laman
Japan Probe
, tahun 2008 lalu, nelayan Taiji membantai 1.484 lumba-lumba dan paus yang mereka tangkap. Sementara tahun 2009 mencapai 2.400 ekor.


Nelayan di Taiji beranggapan bahwa perburuan lumba-lumba telah menjadi bagian dari ritual tradisi sejak mereka kecil. Di area itu mereka telah menangkap lumba-lumba dan ikan paus sejak ribuan tahun yang lalu.


Hal ini diamini oleh pemerintah Jepang sendiri. Ketua kabinet pemerintah Jepang Yoshihide Suga mengatakan Senin lalu bahwa lumba-lumba adalah "sumber laut yang sangat penting". Hal serupa disampaikan oleh Walikota Taiji Kazutaka Sangen yang mengatakan bahwa ini adalah tradisi turun menurun.


Di Jepang sendiri, setiap tahunnya 20.000 lumba-lumba dibunuh untuk diambil dagingnya. Padahal, pemerintah telah mewanti-wanti untuk tidak lagi mengonsumsi daging lumba-lumba karena mengandung banyak mercury.


Praktik ini masih terus dilakukan karena spesies cetacea kecil seperti lumba-lumba bukan termasuk yang dilindungi oleh Komite Paus Internasional (IWC). Bahkan IWC tidak memberikan perlindungan terhadap 71 spesies cetacea, termasuk lumba-lumba dan pesut. (sj)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya