Perjuangan Shandra Selamat dari Perdagangan Manusia di AS

Shandra Woworuntu
Sumber :
  • Survivor of Slavery.org / Leslie Menocal Photography
VIVAnews
Berpengalaman di DPR, Sumail Abdullah Dinilai Berpotensi Maju Pilkada Banyuwangi
- Perempuan asal Indonesia, Shandra Woworuntu, langsung terjebak dalam sindikat perdagangan manusia begitu menginjakkan kaki pertama kali di Amerika Serikat untuk mencari nafkah. Kini, setelah selamat dari praktik keji itu, dia mencurahkan hidupnya untuk mencegah jangan ada lagi korban-korban baru.

Sektor Manufaktur RI Jauh dari Deindustrialisasi, Ekonom Beberkan Buktinya

Kepada
Mak Vera Tepati Janji, Datang ke Makam Olga Syahputra Tengah Malam
Voice of America siaran Indonesia, Shandra berbicara panjang lebar soal kisah kelam saat menjadi korban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001. “Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita,” ujarnya dalam wawancara melalui telepon, Minggu 2 Februari 2014.

Shandra mengatakan ia tertarik mengadu nasib ke Amerika setelah melihat iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Ketika itu, ia sedang menganggur, setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis keuangan di sebuah bank akibat krisis moneter yang melilit Indonesia pada pertengahan 1998.

Berbekal iklan yang sama dari surat kabar Kompas dan Pos Kota, Shandra menghubungi sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang menurutnya memiliki hubungan dengan agen perjalanan Vayatour, dan kemudian mengurus keberangkatannya. Ia membayar Rp30 juta rupiah untuk seluruh biaya administratif dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus diurusnya sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta.


“Agensi ini menawarkan pekerjaan di Amerika, Jepang dan beberapa negara lain. Saya coba telepon dan setelah melalui sekian banyak tes dan interview, saya diminta membayar Rp30 juta, katanya biaya itu untuk administrasi, tiket dan lain-lain. Saya senang sekali karena kalau Rp 30 juta sudah termasuk tiket berarti tidak terlalu mahal kan?” ujarnya.


Dengan membawa dokumen-dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa dan kemudian berangkat ke Amerika Serikat.


“Saya senang sekali karena berhasil meraih mimpi untuk mendapat uang di Amerika dan kembali ke Indonesia dalam enam bulan untuk ketemu anak saya lagi,” ujar ibu dua anak itu.


Tetapi keadaan ternyata tidak semulus yang dibayangkan, ujarnya. Agensi yang menjemputnya di bandar udara John F Kennedy di New York buru-buru mengatakan, mereka tidak bisa langsung berangkat ke Chicago karena sudah malam sehingga harus menginap.


“Di situlah saya dipindahtangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan. Tidak seperti yang dibayangkan dalam perjanjian. Saya… dipindah-pindah beberapa kali,” ujarnya.


Manhattan, Chinatown, Queens, Brooklyn, Bay Side, New London dan Foxwoods adalah beberapa tempat di kota New York yang diingat Shandra menjadi lokasi operasi sindikat perdagangan manusia tersebut.


Shandra mencatatnya dengan lengkap dalam sebuah buku harian, yang kelak sangat membantu aparat berwenang di Amerika untuk menggulung komplotan itu.


Shandra, yang tiba di New York pada awal Juni 2001, akhirnya berhasil melarikan diri dengan melompat dari jendela sebuah kamar mandi hotel pada awal musim dingin tahun yang sama.


Sesama WNI

Ia menghubungi nomor telepon yang diperolehnya dari seorang perempuan cantik yang dikenalnya dalam lingkungan sindikat itu, yang secara tak terduga justru menjerumuskannya pada sindikat perdagangan lain. Ironisnya, pimpinan sindikat berikutnya ini justru warga Indonesia sendiri.


“Ini memang jaringan. Yang penghabisan, atau kelima ini adalah warga Indonesia. Singkat cerita ia mau menjual atau 'pakai' saya dalam kaitan yang tidak bagus, jadi saya kemudian kabur lagi,” ujarnya.


“Saya ke polisi tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke konsulat (KJRI New York) tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga suatu saat ada yang tolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani.”


Biro Investigasi Federal pun bergerak cepat. Berbekal keterangan Shandra dan data dari buku hariannya, FBI menggulung sindikat perdagangan manusia di New York. Tiga kepala sindikat – termasuk seorang warga Indonesia yang disebut-sebut Shandra – ditangkap. Puluhan perempuan berhasil dibebaskan, termasuk dua perempuan Indonesia yang bersama-sama Shandra menjadi korban perdagangan manusia.


“Dulu waktu membuat catatan itu saya tidak tahu kalau catatan ini akan membantu. Nggak sampai ke sana pikiran saya. Jadi semacam kebetulan. Saya menyampaikan catatan itu kepada polisi hanya untuk satu tujuan, yaitu agar saya bisa membantu menyelamatkan dua teman saya – yang juga warga negara Indonesia dan masih belum bisa kabur,” ujarnya.


“Waktu kami berpisah – sewaktu saya kabur dulu – saya janji sama mereka saya akan kembali untuk mereka. Janji itu terngiang-ngiang terus waktu saya di polisi. Target saya waktu itu hanya untuk menyelamatkan kawan-kawan ini,” kata Shandra.


Lembaga The Alliance To End Slavery and Trafficking, seperti dikutip The Daily Star, memperkirakan bahwa sekitar 14.000 hingga 17.000 pria, wanita, dan anak-anak diselundupkan secara ilegal ke AS setiap tahun untuk dijadikan pekerja paksa maupun budak seks.


Dalam laporan soal penyelundupan manusia pada 2013, Departemen Luar Negeri AS pun mengakui bahwa negara mereka merupakan "sumber, transit, dan tujuan bagi pria, wanita, dan anak-anak - baik warga AS maupun orang asing - yang menjadi korban kerja paksa, jerat utang, layanan yang tidak sukarela maupun perdagangan seks." Para korban kebanyakan dari Meksiko, Thailand, Filipina, Honduras, dan Indonesia.


Sumber: VOA Indonesia

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya