Ini Sejarah Sevastopol di Crimea, Wilayah Ukraina Berbau Rusia

Ilustrasi/Kapal perang Rusia di Sevastopol, Crimea
Sumber :
  • REUTERS/Baz Ratner

VIVAnews - Konflik berdarah di ibukota Ukraina, Kiev, ternyata tidak usai setelah Presiden Viktor Yanukovych lengser. Perseteruan kepentingan Barat dan Rusia menjalar hingga ke wilayah Crimea, tepatnya di kota Sevastopol, pangkalan armada angkatan laut Negeri Beruang Merah.

Kisah Heroik Letjen TNI (Purn) Soegito, Rela Ditembak Demi Melucuti Senjata Musuh

Selain 60 persen warganya keturunan Rusia, Crimea juga jadi lokasi strategis tempat ditambatkannya Armada Laut Hitam Rusia. Padahal, sudah 23 tahun Soviet pecah. Lantas mengapa militer Rusia masih bercokol di Sevastopol?

Hal ini tidak lepas dari sejarah panjang Sevastopol, wilayah Semenanjung Crimea.

Pangeran MBS Beri Ucapan Selamat ke Putin Usai Menangi Pilpres Rusia

Kota pelabuhan di Laut Hitam ini ditemukan oleh Kaisar Rusia Yekaterina yang Agung di barat daya pesisir Semenanjung Crimea pada tahun 1783. Sevastopol saat itu terletak di kota tua Yunani bernama Chersoneus. Reruntuhan kota ini sampai saat ini masih dieksplorasi oleh para arkeolog.

Kaisar Yekaterina sendiri yang menamai kota itu Sevastopol, yang berarti "Kota Suci nan Megah". Hal utama yang menarik perhatian Kaisar Yekaterina adalah pelabuhan laut sedalam 30 meter, cocok untuk pangkalan angkatan laut.

Negara-negara Barat Tolak Kemenangan Putin Dalam Pemilu 2024 di Rusia

Saat perang Crimea, penaklukkan Sevastopol antara September 1854-September 1855 menjadi penentu kemenangan konflik. Butuh sekitar setahun bagi Prancis, Inggris dan Kekhalifahan Ottoman menguasai kota ini.

Namun cobaan terberat Sevastopol terjadi pada Perang Dunia II. Tahun 1941-42, pasukan Tentara Merah dan Armada Laut Hitam mempertahankannya dari pasukan Nazi Jerman dalam pertempuran 250 hari, siang dan malam. Pasukan Rusia kalah, namun Jerman juga direpotkan oleh perlawanan dari warga kota.

Sejak tahun 1948, Sevastopol mendapatkan status kota istimewa dari pemerintahan Republik Sosialis Federal Soviet Rusia, bagian dari Uni Soviet. Tahun 1954, pemimpin Soviet saat itu Nikita Khrushchev memberikan Sevastopol dan seluruh Crimea kepada Republik Sosialis Soviet Ukraina, juga bagian dari Uni Soviet.

Awal 1990an, Ukraina menjadi negara merdeka. Crimea menjadi bagian dari Ukraina.

Di bawah Traktat Persahabatan, Kerja Sama dan Kemitraan Moskow-Kiev tahun 1997, Rusia mengakui status kepemilikan Sevastopol dan kedaulatan Ukraina. Sebagai balasannya, Ukraina memberikan Rusia hak untuk terus menggunakan pelabuhan Sevastopol bagi armada laut mereka sampai tahun 2017.

Perjanjian awal izin Armada Laut Hitam di Sevastopol berlangsung untuk 20 tahun. Perjanjian ini otomatis diperpanjang lima tahun kecuali salah satu pihak membatalkannya.

Perjanjian kedua, ditandatangani di Kharkiv tahun 2010, memperpanjang penggunaan pelabuhan Sevastopol untuk armada Rusia hingga 2042. Rusia membayar Ukraina US$98 juta per tahun untuk menyewa pangkalan laut di Crimea. Selain itu, berdasarkan perjanjian Kharkiv, Rusia akan memberikan potongan harga gas US$100 per ton.

Rusia terpaksa menggunakan pelabuhan Sevastopol karena tidak ada pelabuhan di negaranya yang mampu menampung Armada Laut Hitam. Pelabuhan Rusia di Novorossiysk tidak cukup dalam dan kurang infrastrukturnya.

Armada Laut Hitam Rusia terdiri dari 388 kapal perang Rusia, termasuk 14 kapal selam diesel. Selain itu, ada 161 jet tempur di pangkalan udara yang disewa Rusia di Gvardeiskoye (sebelah utara Simferopol) dan Sevastopol.

Total ada 25.000 personel militer Rusia di Crimea, belum termasuk staf sipil. Jika dihitung juga keluarga mereka yang ikut tinggal di komplek militer Crimea, total ada lebih dari 100.000 orang.

Pada konflik Ukraina, dilansir dari deutsche welle, Rusia memobilisasi 150.000 pasukan, 800 tank dan 90 jet tempur dan 80 kapal perang, untuk bersiap jika diperlukan diturunkan ke Sevastopol.

Warga Crimea sendiri khawatir konflik ini akan memecah belah Crimea menjadi dua kubu, pro-Ukraina dan pro-Rusia. Namun warga keturunan Rusia yang jumlahnya mayoritas menyatakan akan mendukung Rusia jika terpaksa memilih.

"Saya takut negara terbelah. Di Ukraina, ada nasionalis dan pro-Rusia, tapi kami sebenarnya satu Ukraina. Tapi jika dipaksa untuk memilih, saya memilih Rusia," kata Ina Yurchuk, 30, warga Sevastopol. (eh)

Artikel ini kerja sama antara VIVA.co.id dan RBTH.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya