Cerita Seorang Dokter dari Jalur Gaza

Korban serangan roket Israel di Gaza
Sumber :
  • REUTERS/Majdi Fathi
VIVAnews
Sidang Sengketa Pilpres di MK, Bawaslu Sebut Jokowi Bagi-bagi Bansos Tak Langgar Netralitas
- Sebulan terakhir, Gaza terus dibombardir senjata. Roket demi roket ditembakkan. Bom demi bom membumihanguskan tanah Palestina. Ribuan nyawa melayang jadi korban.

Kementerian Perdagangan dan Penegak Hukum Diminta Lebih Tegas Tangani Peredaran Oli Palsu

Setelah kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina Selasa lalu, sudah ada lebih dari 1.800 rakyat Gaza yang jadi korban. Mereka yang luka, memenuhi rumah sakit.
Waktu Idel untuk Kencing Setiap Hari, Laki-laki Harus Tahu Agar Prostat Tetap Sehat


Michele Beck, kepala tim medis Dokter Lintas Batas (MSF) menuturkan kesaksiannya soal korban cedera di Gaza. Beck bertugas di Rumah Sakit Al Shifa, yang tak henti kedatangan korban luka.

Dalam pernyataan tertulis pada
VIVAnews
Beck menyebut, korban Gaza tiba secara bergelombang. Banyaknya tergantung pada intensitas pengeboman. Yang jelas, banyak korban anak dan wanita.


“Dari seluruh pasien di Al Shifa, saya pikir 30 persen di antaranya perempuan dan 30 persen lainnya anak-anak,” ungkap Beck. Namun, angka itu bisa berubah kapan saja.


Saking banyaknya korban, Beck dan tim Kementerian Kesehatan Palestina sulit mencatat secara reguler. Apalagi, kondisi selalu kaos. Kapan pun korban bisa datang, dalam jumlah berapa pun.


Para korban itu mengalami berbagai trauma, luka bakar, dan luka akibat terkena serpihan bom. Jika sudah begitu, Beck dan dokter-dokter lain memprioritaskan penanganan medis.


Seperti suatu malam, saat Beck menerima dua anak perempuan berusia empat dan enam tahun di Al Shifa. Mereka kakak beradik, dan kondisi keduanya serius. Mereka tengah berada tak jauh dari daerah yang dibom di pengungsian Jabaliya.


“Mereka datang dengan luka-luka di kaki dan wajah. Mereka patah tulang serta cedera di bagian kaki dan dada,” Beck menyebutkan. Luka itu makin fatal karena usia mereka masih terlalu dini.


Di usia itu, terang Beck, dada belum terbentuk benar. Ledakan yang amat kencang bisa merusak paru-paru. Kedua bocah itu pun berada di meja operasi sepanjang malam.


“Sekarang mereka diberi perawatan pasca operasi. Saya tidak tahu apakah mereka akan bertahan,” lanjut Beck. Yang ia tahu pasti, kedua kakak beradik itu hanya sebagian kecil korban.


Ada terlalu banyak pasien, dan petugas medis harus sigap. Beck berupaya merawat kasus yang paling darurat lebih dahulu. Tujuannya, menyelamatkan hidup mereka yang lukanya paling serius.


“Tim kami bekerja nonstop,” ia menuturkan. Di Al Shifa, terdapat tujuh staf international dari MSF. Ada sejumlah dokter bedah, ahli anestesi, juga beberapa perawat.


Semuanya siaga di bagian tanggap darurat, ruang operasi, serta unit luka bakar, bersama para staf Palestina. Beruntung, semua didukung tenaga profesional.


“Para staf Palestina berpengalaman melakukan operasi dalam kondisi perang maupun dalam menghadapi besarnya arus orang yang terluka,” Beck menjelaskan.


Adanya pembagian tugas sedikit memudahkan, meski itu tidak mengurangi kaos yang terjadi. Setidaknya, ada yang membantu menstabilkan pasien gawat darurat sebelum dioperasi.


“Pembagian tugas dilakukan berdasarkan kebutuhan, dengan cara apa pun yang paling tepat,” ungkap Beck. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya