- Dokumentasi MSF
VIVAnews - Rakyat Palestina di Jalur Gaza Rabu dini hari menyambut suka cita pengumuman gencatan senjata antara kelompok pejuang Hamas dengan militer Israel setelah konflik bersenjata selama tujuh pekan. Mereka tidak ingin lagi dikungkung suasana teror akibat bombardir jet-jet tempur dan meriam Isrel yang menghancurkan banyak bangunan di Gaza.
Dokter Abu Abed, koordinator tim medis Dokter Lintas Batas (MSF) di Gaza, berikut ini menceritakan suasana suka cita bercampur haru penduduk di kota tersebut setelah mendengar pengumuman gencatan senjata berdasarkan kesepakatan yang disponsori Mesir. Namun, rakyat Palestina di sana masih harus berjuang keras memulihkan hidup mereka di tengah puing-puing bangunan hasil bombardir Israel.
“Pada tanggal 26 Agustus 2014, saya bagaikan terlahir kembali. Ini adalah hari kelahiran saya – dan istri serta anak-anak saya. Kami masih hidup, ini menakjubkan! Di Gaza, kehidupan kembali bertiup.
Orang-orang terlihat di jalanan, mereka saling berpelukan, semua orang tersenyum. Orang-orang berkata, ‘Puji Tuhan, kami masih hidup.’ Di klinik MSF, bahkan pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan setelah operasi bedah juga tersenyum.
Sekarang kami bisa bernapas lagi. Kemarin Gaza bagaikan kota hantu, jalanan sepi. Israel mengebom bangunan. Setiap saat kami bertanya-tanya, ”Bangunan apa yang akan mereka bom berikutnya? Kapan?” Bangunan tempat tinggal teman saya juga dibom. Mereka bisa keluar dari apartemen tepat pada waktunya, namun mereka kehilangan segalanya.
Benar-benar segalanya, hingga hal-hal terkecil seperti cangkir untuk minum teh dan bantal untuk tidur. Untuk pertama kalinya Selasa kemarin, saya tidak pergi ke klinik MSF. Saya seperti zombie. Istri dan anak-anak saya juga depresi. Saya tidak makan apa-apa sepanjang hari, saya hanya minum kopi. Seluruh harapan musnah. Keadaan terlalu buruk.
Ketika kami mendengar berita tentang gencatan senjata, saya dan istri saya menangis. Anak perempuan kami yang berusia lima tahun lompat-lompat seperti orang gila, berteriak, ”Perang sudah usai, mari rayakan berakhirnya perang!” Tetapi, anak laki-laki saya diam saja awalnya. Mereka tidak percaya gencatan senjata benar terjadi sampai mereka bisa tidur di kasur mereka sendiri. Hari ini, anak-anak kembali bermain di taman, mereka keluar dan bertemu orang-orang lagi.
Hari ini, orang-orang keluar dan melakukan hal-hal biasa. Mereka akan bahagia seperti ini selama tiga atau empat hari, mungkin. Setelah itu, mereka akan mulai melihat-lihat rumah-rumah yang telah hancur, semuanya sudah hancur. Tidak ada listrik, dan air juga bermasalah. Mereka akan menyadari bahwa banyak hal yang harus dilakukan, dan mereka akan depresi lagi.
Biasanya, akhir tahun sekolah dimulai awal minggu bulan ini. Sekarang, tidak ada yang tahu kapan sekolah akan dibuka kembali, karena banyak orang yang telah kehilangan rumah mereka mengungsi di sekolah. Beberapa sekolah juga dibom. Di samping itu, menurut saya anak-anak juga perlu beristirahat.
Selama tujuh minggu ada bom, penembakan, kematian, dan orang-orang yang cedera. Tujuh minggu kemarin bagaikan neraka. Anak-anak butuh waktu untuk melupakan, dan untuk beradaptasi kembali. Saya berharap konflik ini tidak akan mulai meletup lagi.”(ita)
Dokter Abu Abed, koordinator tim medis Dokter Lintas Batas (MSF) di Gaza