ISIS Eksekusi Jurnalis AS Steven Sotloff

Pemenggal wartawan AS dan sandera jurnalis lainnya Steven Sotloff
Sumber :
  • REUTERS/Social Media Website via REUTERS TV
VIVAnews - Ancaman kelompok Islamic State of Iraq and al-Sham bukan sekedar isapan jempol belaka. Ketika mereka memperingatkan akan mengeksekusi jurnalis asal Amerika Serikat lainnya, Steven Joel Sotloff, apabila Presiden Barack Obama tidak menghentikan serangan udara ke ISIS, kelompok pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi, tidak hanya gertak sambal. 
Masjid Istiqlal Siap Sambut 250 Ribu Jamaah Shalat Idul Fitri 1445 H

BBC edisi Selasa, 2 September 2014, Sotloff akhirnya dieksekusi oleh kelompok militan itu. Cara eksekusi yang dipilih ISIS sama seperti mereka membunuh Foley, yakni memenggal kepala Sotloff.
Dongkrak Industri Kreatif, Sandiaga Uno Dorong Sinergi Pemerintah dan Pelaku Usaha

Eksekusi sadis itu kembali direkam oleh ISIS dan diedarkan ke dunia maya pada Selasa kemarin. Video berjudul "A Second Message to America" itu berdurasi selama 2,5 menit dan diduga direkam di sebuah gurun pasir. 
Nikmati Hari Raya Tanpa Khawatir! Ini Tips Jitu Cegah Kolesterol Tinggi

Pelaku menggunakan pakaian serba hitam dengan wajah sebagian besar tertutup. Sementara itu, jurnalis berusia 31 tahun itu mengenakan baju berwarna orange dengan kepala plontos.

Sama seperti skenario Foley, sebelum dieksekusi, Sotloff membacakan sebuah pesan yang ditujukan untuk Obama. Pesan itu sudah disiapkan oleh pelaku. 

"Anda telah menghabiskan miliaran dolar AS pajak rakyat dan kami telah kehilangan ribuan pasukan dalam peperangan sebelumnya, saat berperang melawan ISIS. Jadi, di mana kepentingan rakyat yang membayar pajak tadi dengan kembali menghidupkan perang ini?" tanya Sotloff. 

Sementara itu, pelaku yang diduga juga eksekutor Foley, menyatakan langkah ini mereka ambil, karena geram melihat sikap arogan Obama yang mengabaikan peringatan mereka.

"Saya kembali, karena kearoganan kebijakan luar negeri Obama terhadap ISIS, walau kami sudah memberikan peringatan serius," ungkap si pelaku.

Dia melanjutkan, peristiwa pemenggalan kedua ini merupakan peringatan kepada pemerintahan mana pun yang berniat bergabung dengan AS untuk menyerang ISIS, supaya mundur dan tidak terlibat.

ISIS mengatakan, akan terus mengeksekusi sandera dari negara barat yang mereka miliki, jika Obama tetap melanjutkan serangan udara ke markas mereka di Irak.

Di bagian akhir video, kelompok militan itu terlihat menyandera warga Inggris bernama David Haines. Pelaku menyebut kelanjutan nasib Haines ada di tangan Pemerintah Inggris dan AS.

Pemerintah AS terkejut

Juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest, mengaku baru tahu rilis video itu, ketika tengah memberikan penjelasan kepada wartawan pada Selasa kemarin. Dia mengakui, belum bisa memberikan pernyataan mengenai keaslian video eksekusi Sotloff.

"Saya tidak dalam posisi untuk membenarkan keaslian video seperti yang Anda laporkan," ungkap Earnest. 

Video itu, kata Earnest, akan dianalisa secara hati-hati oleh Pemerintah dan intelijen AS untuk mencari tahu keasliannya.

Video eksekusi Sotloff sangat membuat keluarganya terpukul. Sebab, pada pekan lalu, ibu Sotloff, Shirley merilis video permohonan kepada al-Baghdadi agar tidak mengeksekusi putranya itu.

"Steven adalah seorang jurnalis yang berangkat ke Timur Tengah untuk melaporkan penderitaan kaum Muslim di tangan-tangan para tirani. Dia seseorang yang loyal dan dermawan. Dia seorang kakak dan cucu. Dia merupakan pria yang terhormat dan selalu mencoba menolong kaum lemah," ungkap Shirley dalam video tersebut.

Namun, permohonan itu tidak digubris oleh ISIS.

Menurut juru bicara keluarga, Barak Barfi, pihak keluarga saat ini tengah berduka dan tidak ingin muncul di publik.

Sotloff diculik, saat tengah bertugas di dekat kota Aleppo, Suriah bagian utara, pada Agustus 2013. Namun, keluarga sengaja menutup rapat soal hilangnya Sotloff karena khawatir akan membahayakan keselamatannya. 

Tanpa sepengetahuan publik, pemerintah dan keluarga telah berupaya untuk membebaskan Sotloff, namun gagal. 

Dia bekerja sebagai jurnalis lepas untuk beberapa media antara lain Majalah Time, Foreign Policy, dan Christian Science Monitor. Sotloff kerap melaporkan dari berbagai lokasi peperangan seperti Suriah, Libya, dan Mesir. 

Editor Majalah Time, Nancy Gibbs, mengaku terkejut dan berduka setelah mendengar laporan kematian tragis Sotloff. 

"Dia rela mengorbankan nyawanya, agar para pembaca memiliki akses informasi ke beberapa lokasi berbahaya di dunia. Doa dan rasa duka kami menyertai dia dan keluarganya," ungkap Gibbs. (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya