Rusia: AS Terapkan Standar Ganda Dalam Berantas ISIS

Dua pesawat jet tempur AS, F-15 Strikes Eagle saat melakukan serangan udara di Raqqa, Suriah.
Sumber :
  • REUTERS/U.S. Air Force/Senior Airman Matthew Bruch/Handout
VIVAnews - Duta Besar Republik Federasi Rusia, Mikhail Y. Galuzin, menegaskan negaranya tidak ikut dalam koalisi mana pun untuk memberantas kelompok teroris, termasuk grup Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS). Walau begitu, Rusia ikut memberi bantuan peralatan militer dan pelatihan kepada pasukan Irak. 
Nasib 2 Debt Collector Ambil Paksa Mobil Polisi, Kemenhub Pangkas Jumlah Bandara Internasional

Ditemui di kediamannya di area Kuningan, Jakarta Selatan, hari ini, Galuzin menyebut bantuan itu sesuai dengan janji yang telah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov kepada Pemerintah Irak dalam sidang Majelis Umum PBB pada pekan lalu. 
Elite PAN soal PKB-Nasdem Gabung Prabowo: Ini Masih Perubahan atau Keberlanjutan? 

"Posisi Rusia sudah sangat jelas terkait perlawanan melawan ISIS di Irak. Kami memasok peralatan militer seperti jet tempur Sukohi Su-25. Pelatihan pun juga kami berikan kepada pasukan keamanan untuk melawan ISIS. Tapi kami tidak pernah tergabung dalam koalisi anti teorisme mana pun," papar dia. 
Top Trending: Habib Bahar Akui Kemenangan Prabowo Gibran hingga Seorang Ulama Kritik Nabi Muhammad

Untuk melihat kasus ini, Galuzin meminta publik internasional untuk lebih jeli. Mereka, kata Galuzin, seharusnya juga mencari tahu mengapa grup militan seperti ISIS bisa muncul. Mengapa kelompok itu bisa begitu kuat dan alasan mereka melakukan tindakan brutal semacam itu. 

Jawabannya, ujar Galuzin, karena Amerika Serikat dan negara sekutunya, terus melanjutkan kebijakan intervensi terhadap urusan domestik negara-negara merdeka di kawasan Timur Tengah. 

"Intervensi itu justru menyebabkan kehancuran pada negara-negara tersebut. Coba saja Anda tengok apa yang terjadi di Irak, Libya, Suriah dan kini Ukraina. Dalam semua kasus, jelas terlihat adanya campur tangan AS di negara-negara tersebut," tutur pria yang telah bertugas selama hampir dua tahun di Indonesia itu. 

Dalam melawan kelompok pimpinan Abu Bhakar al-Baghdadi di Suriah, AS, kata Galuzin, jelas menerapkan standar ganda. Alih-alih mengajak kerjasama Presiden Bashar al-Assad untuk memberantas ISIS, Presiden Barack Obama malah memasok senjata ke pasukan pemberontak yang menentang Assad. 

"Kelompok pemberontak yang mereka klaim moderat inilah justru cikal bakal ISIS. AS lalu memberikan senjata kepada mereka, maka besar kemungkinan senjata itu bisa berpindah tangan ke ISIS lalu digunakan untuk menyerang balik AS dan negara sekutunya," kata Galuzin mengurai analisanya. 

Selain itu, sering kali di balik kebijakan AS, lanjut Galuzin tersembunyi kepentingan lain. Salah satunya untuk menggulingkan pemimpin negara yang dianggap tidak bersahabat terhadap Negeri Paman Sam. 

"Contoh, ketika mereka tidak menyukai Slobodan Milosevic, maka AS akan menciptakan koalisi untuk menyerang ke Yugoslavia dan menggulingkan Slobodan. Kini, di saat AS tidak menyukai Assad, maka mereka menyerang Suriah tanpa meminta persetujuan pemerintahan yang sah," kata Galuzin. 

Hal itu, imbuh dia, jelas melanggar hukum internasional. Karena seharusnya serangan tersebut, lanjut Galuzin, turut membutuhkan restu dari anggota Dewan Keamanan PBB. 

"Itu alasan mengapa kami sering menyebut AS memiliki standar ganda," tegas Galuzin. 

Dana Besar 

Obama mulai melakukan serangan udara ke Suriah pada bulan lalu untuk mengurangi bahkan menghancurkan ISIS. AS melakukan itu dibantu empat negara Semenanjung Arab lainnya yakni Arab Saudi, Yordania, Bahrain dan Uni Emirat Arab. 

"Saya dapat mengkonfirmasikan militer AS dan pasukan negara mitra kini mengambil langkah militer terhadap ISIS di Suriah menggunakan berbagai jet tempur, alat pengebom dan rudal serang Tomahawk," ungkap juru bicara Pentagon, John Kirby dan dilansir laman International Business Times. 

Namun peperangan itu diprediksi oleh Obama akan berlangsung lebih dari tiga tahun. Padahal, menurut analisa Majalah Foreign Affairs, serangan itu bisa menghabiskan biaya sekitar US$10 miliar per tahunnya. 

Obama memilih tidak mengajak dan meminta izin kepada Assad, walaupun AS menyerang wilayah Suriah. Hal itulah yang dikritik oleh Pemerintah Suriah, Iran dan Rusia. 

Dalam laporan terbaru yang dirilis media, serangan udara AS turut menewaskan warga sipil. Laman Dailymail melansir, serangan AS di Suriah telah menewaskan sedikitnya dua warga sipil. 

Menurut laporan organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris keduanya tewas di dalam lumbung padi di utara kota Manbij. Militer AS mengira lumbung padi itu sebagai tempat persembunyian ISIS. (ren)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya