Kampanye Feminis Manfaatkan Pekerja Migran Murah

Ilustrasi
Sumber :
  • Ilustrasi

VIVAnews - Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron mendapat dikecam karena menolak mengenakan kaus pro-feminis, pekan lalu. Namun sebuah investigasi yang dilakukan media Inggris, memperlihatkan para pemakai kaus itu yang semestinya merasa malu.

Laman Daily Mail dalam laporannya, Sabtu 1 November, menyebut dari hasil penyelidikan mereka ternyata kaus pro-feminis seharga 45 pounsterling atau sekitar Rp 870.000 yang dikenakan para politisi itu, dibuat di pabrik yang memanfaatkan pekerja migran berpenghasilan rendah.

Pada Senin 27 Oktober, The Guardian dalam laporannya menyebut Cameron berulang kali menolak difoto mengenakan kaus bertuliskan "This is what a feminist looks like," yang dimotori oleh majalah Elle. Membuat Cameron dituduh bermasalah dengan feminisme.

Cameron mendapat kecaman dari para aktivis feminisme, terutama karena para politisi Inggris lainnya termasuk Wakil PM Nick Clegg dan pemimpin Partai Buruh Ed Miliband bersedia mengenakan kaus itu.

"Sungguh memalukan, terutama mengingat dia (Cameron) mengetahui bahwa Nick Clegg dan Ed Miliband telah setuju (mengenakan kaus) tanpa ragu, bersama dengan orang-orang berpengaruh lain yang dengan bahagia menyebut diri mereka feminis," kata pemimpin redaksi Elle, Lorraine Candy.

Candy mengatakan dirinya kecewa dengan Cameron, karena menolak untuk terlibat dalam usaha memperjuangkan kesetaraan. Namun fakta yang terungkap dari investigasi, sepertinya harus membuat Candy dan majalahnya berpikir ulang tentang kesetaraan yang mereka klaim.

Kaus pro-feminis yang dibanggakan Candy dan para politisi Inggris itu ternyata dibuat pada sebuah pabrik di Mauritania, negara kepulauan di barat daya Samudra Hindia sekitar 900 kilometer dari Madagaskar.

Para pekerja di pabrik itu sebagian besar wanita migran asal Bangladesh, Sri Lanka, India dan Vietnam yang hanya dibayar sekitar dua juta rupiah per bulan. Mereka juga hanya tidur di kamar-kamar kecil yang dihuni sedikitnya 16 orang pekerja.

"Bagaimana kaus ini bisa menjadi simbol feminis? Kami tidak melihat diri kami sebagai feminis, kami adalah orang-orang yang terjebak," kata seorang wanita pekerja pabrik CMT di La Tour Koenig, utara Mauritania.
 
Direktur CMT Francois, mengatakan semua kamar asrama untuk pekerja pabrik memiliki bentuk yang sama. Menurutnya para pekerja tidak membutuhkan kamar yang luas karena hanya akan digunakan untuk tidur saja.

Presiden Serikat Pekerja Tekstil, Garmen dan Kulit Internasional, Fayzal Ally Beegun, mengatakan para pekerja yang membuat kaus pro-feminis itu diperlakukan sangat buruk. Fakta bahwa para politisi Inggris dengan bangga mengenakan kaus itu disebutnya sangat mengganggu.

"Butuh dua minggu waktu kerja dengan lembur bagi seorang wanita pekerja pabrik untuk membeli sebuah kaus itu. Jadi tentang apa itu feminis? Mereka (pekerja) bekerja dengan waktu yang panjang dan tidak ada waktu istirahat," kata Fayzal.

Terungkap juga bahwa para pekerja wanita di CMT memiliki kontrak kerja selama empat tahun, yang artinya mereka tidak dapat pulang menemui keluarga mereka hingga kontrak berakhir.

Setiap orang harus bekerja sekurangnya 12 jam per hari. "Bagaimana para politisi itu bisa mengatakan bahwa mereka mendukung kesetaraan bagi semua, tapi kami tidak setara," kata seorang pekerja wanita berusia 30an tahun.

Di pabrik itu ada sekitar 2.800 pekerja wanita yang masing-masing harus membuat sedikitnya 50 kaus sehari. Mereka akan mendapat hukuman jika tidak berhasil mencapai target, seperti pemotongan gaji sekalipun karena sakit.



Baca Juga:

5 Fakta Menarik Jelang Duel Everton vs Liverpool di Premier League
Pj Gubernur Sumut, Hassanudin.(dok Pemprov Sumut)

Kejuaraan Golf Internasional, Pj Gubernur Sumut Optimis Jadi Ajang Pembinaan Atlet

Kejuaraan North Sumatera Amateur Open (NSAO) 2024, kembali digelar oleh Persatuan Golf Indonesia (PGI) Sumut. Peserta berasal dari Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina,

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024