Indonesia Peringkat ke-8 Indeks Perbudakan Global

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah
Sumber :
  • VIVAnews/Bayu Galih
VIVAnews
Tegaskan Hubungan dengan Syifa Hadju Baik-baik Saja, Rizky Nazar: Tidak Ada Orang Ketiga
- Kasus perbudakan modern di dunia semakin memburuk, dengan jumlah korban meningkat dari 29,7 orang pada 2013, menjadi 35,8 juta orang. Peringkat Indonesia dalam Global Slavery Index juga sangat memprihatinkan.

Setengah Penjualan Suzuki Berasal dari Mobil Ini

Pada keterangan pers yang diberikan Migrant CARE, Selasa 18 November 2014, disebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat kedelapan dari 167 negara, dengan jumlah korban perbudakan modern terbanyak.
Doa Ibunda untuk Ernando Ari dan Indonesia U-23


Artinya dalam satu tahun, jumlah warga negara Indonesia yang menjadi korban perbudakan modern telah meningkat lebih dari 300 persen. Pada Global Slavery Index 2013, Indonesia berada di peringkat 114 dari 162 negara.


Pada 2013, jumlah korban perbudakan modern di Indonesia tercatat 210.970 orang, dan 2014 menjadi 714.300 orang. Negara lain yang masuk dalam 10 besar peringkat terburuk adalah India, Tiongkok, Pakistan, Uzbekistan, Rusia, Nigeria, Kongo, Bangladesh, dan Thailand.


Kenaikan yang terjadi di Indonesia terlihat sangat buruk jika dibandingkan dengan kenaikan jumlah korban di tingkat global, seperti dilansir dalam laporan yang dikeluarkan organisasi global melawan perbudakan modern (WALKFREE).


Pada Global Slavery Index 2014 yang dirilis secara bersamaan di Jakarta, Nairobi, Yordania, Wina, Perth, dan London, hari ini, tercatat peningkatan jumlah korban perbudakan global sebesar 20 persen. "Peningkatan ini tentu sangat menggelisahkan," kata Direktur Migrant CARE Anis Hidayah.


"Menyadarkan kita bahwa di masa peradaban modern ini masih berlangsung praktik keji perbudakan modern, dalam bentuk eksploitasi buruh anak, buruh migran, buruh perempuan, eksploitasi seksual anak dan perempuan, serta pemaksaan perkawinan di bawah umum," tambahnya.


Menurut Anis, situasi perbudakan modern di Indonesia dan yang dialami WNI tidak jauh berbeda, dengan hasil pemantauan yang dilakukan Migrant CARE. Terutama praktik yang terjadi dalam skema penempatan buruh migran ke luar negeri.


"Pada proses rekrutmen mereka dijebak dengan jeratan utang yang mencekik. Di negara tujuan bekerja dieksploitasi bekerja tanpa istirahat cukup, serta rentan tindak kekerasan, pelecehan seksual dan perkosaan. Saat pulang dieksploitasi pihak-pihak yang mengambil keuntungan," ucap Anis.


Sepanjang 2013-2014, Migrant CAREĀ  mencatat terjadinya peningkatan kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia, yang bekerja sebagai pelaut. Hingga saat ini belum ada instrumen khusus untuk melindungi mereka yang bekerja di kapal penangkap ikan asing.


Oleh karena itu, kata Anis, Migrant CARE mendukung sepenuhnya rekomendasi WALKFREE, dengan mendesak agar pemerintah Indonesia segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.


Serta Protokol 2014 dari Konvensi ILO tentang kerja paksa, dan segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Lebih lanjut, Anis menyebut dua hal yang harus dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo, demi mengakhiri perbudakan modern.


Pertama
, mengakhiri era penempatan buruh migran yang berbasis pada monopoli PPTKIS dan berbiaya tinggi. Menggantinya dengan tata kelola penempatan, dan perlindungan buruh migran sebagai aktivitas pelayanan publik.


Kedua
, mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya sebagai instrumen diplomasi, panduan pembaharuan legislasi, dan panduan kerja institusi negara yang terkait masalah penempatan serta perlindungan buruh migran. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya