Dua Kementerian Indonesia Beda Pendapat Soal Kebijakan Australia

Perdana Menteri Australia, Tony Abbott dan Presiden Joko Widodo
Sumber :
  • REUTERS/Mark Baker/Pool
VIVAnews
Prabowo-Gibran Menang Pilpres 2024, AHY: Saatnya Rekonsiliasi
- Presiden Indonesia Joko Widodo mengeluarkan peringatan bagi Australia, dalam wawancara ekslusif dengan
Sydney Morning Herald
Respons Santai Jokowi Sudah Tak Dianggap Kader PDIP Lagi: Terima Kasih
(SMH), sebelum dirinya dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober lalu.
Kenang Sosok Mooryati Soedibyo, Nadia Mulya: Kartini Modern

Pada laporan SMH yang dipublikasi, Sabtu 19 Oktober lalu, Jokowi secara khusus menyebut kebijakan pencari suaka Australia sebagai tindakan sepihak dan kontroversial. Dia memperingatkan, tidak akan segan-segan bertindak tegas.


Jokowi, bahkan menegaskan bahwa dirinya bisa lebih keras dibandingkan Prabowo Subianto. "Kami akan memberikan peringatan bahwa hal ini tidak bisa diterima," kata Jokowi, menambahkan bahwa ada hukum internasional yang harus dipatuhi Australia.


Sementara itu, Menteri Imigrasi Australia Scott Morrison, Rabu 19 November kemarin, mengatakan bahwa keputusan terbaru Australia untuk menutup akses bagi para pencari suaka yang terdaftar pada UNHCR di Indonesia, sudah dibicarakan dengan Indonesia.


Pada wawancara dengan Chris Uhlman dari
ABC
, Morrison mengatakan bahwa Australia telah mendiskusikan rencana penutupan akses pengungsi dengan pemerintah Indonesia selama beberapa pekan.


"Saya akan membiarkan pemerintah Indonesia berbicara untuk mereka sendiri. Ada komentar dari juru bicara imigrasi (Indonesia) hari ini, yang membuat prediksi bahwa ini (kebijakan Australia) akan mengurangi pengungsi yang datang ke Indonesia," ujar Morrison.


Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) Michael Tene, Rabu, mengaku bahwa Indonesia mengetahui kebijakan baru pemerintah Australia tentang pengungsi, dan Tene menyebut hal itu adalah urusan internal Australia.


"Jika ada yang berdampak merugikan, tentu Indonesia akan melindungi kepentingannya dan mengambil tindakan," kata Tene. Tetapi, dia tidak menjelaskan, apakah tertahannya ribuan pengungsi di Indonesia tidak akan merugikan.


Jawaban Tene seolah memperlihatkan bahwa peringatan keras yang dikeluarkan Jokowi sebelum dirinya dilantik, ternyata tidak menjadikan pemerintah Indonesia dapat bersikap lebih tegas, setelah Jokowi resmi menjabat sebagai Presiden.


Lebih membingungkan lagi, perbedaan pendapat antarkementerian terjadi. Jika Kemlu tidak menganggap kebijakan Australia itu tak berdampak merugikan Indonesia, berbeda dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.


Kantor berita Australia,
ABC
, Kamis 20 November 2014, mengutip pernyataan Yasonna yang menyebut Indonesia dibebani dengan kebijakan Australia menutup akses bagi pencari suaka. "Memang itu hak Australia, tetapi menjadi beban bagi kami," kata dia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya