Motif di Balik Perlakuan Istimewa Australia Kepada Jokowi

Perdana Menteri Australia, Tony Abbott dan Presiden Joko Widodo
Sumber :
  • REUTERS/G20 Australia/Handout via Reuters
VIVAnews - Pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, mengungkap perlakuan istimewa yang diterima oleh Presiden Joko Widodo dari Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, saat berada di KTT G20 hanya untuk memuluskan kebijakan para pencari suaka mereka. Perlakuan istimewa itu antara lain, dilakukan ketika upacara pelantikan Jokowi digelar pada 20 Oktober 2014 lalu, Abbott menyempatkan diri hadir. 
Ledakan Terdengar di Bandara hingga Pusat Nuklir Iran

Lalu, menggelar pertemuan bilateral di Istana Negara sesudahnya. Dalam keterangan tertulis  yang diterima VIVAnews pada Jumat, 21 November 2014, Hikmahanto mengingatkan Pemerintah Indonesia harus bertindak tegas terhadap Australia, terkait kebijakan baru pencari suaka itu. 
Rupiah Amblas ke Rp 16.200 per dolar AS, Gubernur BI Lakukan Intervensi

Hikmahanto menyebut, motif di balik perlakuan istimewa Abbott ini, seharusnya telah bisa diantisipasi, sejak awal. Bahkan, kata Hikmahanto, sanjungan terus diberikan Abbott ketika akhirnya Jokowi bersedia hadir di forum KTT G20. 
Terungkap 3 Alasan Iran dan Arab Saudi Saling Bermusuhan, Isu Agama Paling Kuat

"Rupanya PM Tony Abbott menyanjung Presiden Jokowi dengan maksud agar kebijakan unilateral penanganan pencari suaka bisa berjalan mulus," kata dia. 

Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly, telah bersuara atas kebijakan baru pencari suaka Australia. Keduanya menyayangkan kebijakan sepihak yang masih diterapkan oleh Negeri Kanguru. 

Alhasil, pada Kamis kemarin, Retno memanggil Duta Besar Australia untuk RI, Greg Moriarty. Sementara, Yasonna, mengatakan kebijakan baru pencari suaka Australia, akan memberikan beban tambahan bagi Indonesia. 

"Hal ini patut diapresiasi, karena kedua Menteri telah secara sinergis mengedepankan kepentingan Indonesia. Mereka telah menjalankan kebijakan Pemerintahan Jokowi untuk tegas ketika kepentingan nasional dirugikan oleh orang lain," papar Hikmahanto. 

Setelah memanggil Dubes Moriarty, Indonesia, kata Hikmahanto, tinggal menanti respon dari Negeri Kanguru. 

"Bila Pemerintah Australia tidak mencabut tindakan yang unilateral dan bertentangan dengan HAM itu, maka Pemerintah Indonesia perlu memanggil pulang Dubes Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema," saran Hikmahanto. 

Bila itu yang terjadi, maka hal tersebut akan menjadi kepulangan Nadjib yang kedua ke Tanah Air, setelah baru saja bertugas kembali di Canberra. Nadjib pernah ditarik ke Indonesia selama sembilan bulan, akibat terkuaknya kasus skandal penyadapan terhadap komunikasi mantan Presiden SBY. 

Dalam kebijakan baru pencari suaka Australia yang diumumkan oleh Menteri Imigrasi, Scott Morrison pada Selasa kemarin, Negeri Kanguru tidak akan lagi menerima para pencari suaka yang mendaftar ke Badan PBB, UNHCR di Jakarta lewat dari bulan Juni 2014. Morrison beralasan kebijakan itu untuk mencegah para pencari suaka datang ke Indonesia.

Sementara, saat ini sudah terdapat sekitar 10 ribu pencari suaka yang menunggu di Indonesia untuk bisa ditempatkan di Australia. Pengacara Imigrasi dan Pengungsi, David Manne, menyebut akibat kebijakan itu, status puluhan ribu pencari suaka itu bisa tidak jelas. Ujung-ujungnya mereka akan tersandera dan menetap di Indonesia, sehingga akan memberi beban tambahan sosial bagi pemerintah.

Baca juga:



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya