Kasus Erwiana Harus Jadi Pelajaran Bagi Hong Kong

Majikan di Vonis Bersalah Erwiana Sulistyaningsih Tersenyum Bahagia
Sumber :
  • REUTERS/Bobby Yip
VIVA.co.id -
Cerita TKI Hong Kong Kena COVID-19 Ditelantarkan Majikan
Pengadilan distrik Hong Kong Selasa kemarin menyatakan majikan Erwiana Sulistyaningsih, Law Wan Tung bersalah karena telah menyiksa dan melecehkan TKI asal Ngawi, Jawa Tengah itu. Hukuman bui selama 7 tahun siap menanti di depan mata dalam sidang pembacaan vonis yang berlangsung pada 27 Februari 2015.

Kisah Perjalanan Para TKI Jadi Korban Kerja Paksa di Malaysia

Menurut organisasi yang peduli terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM), Amnesty International, menyebut dengan adanya kasus ini seharusnya bisa dijadikan titik balik oleh pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap para buruh migran.
Sebar Video Majikan Telanjang, TKI di Singapura Dibui 17 Bulan Penjara


"Sebab putusan bersalah adalah dakwaan memberatkan atas kegagalan pemerintah untuk mereformasi sistem yang memerangkap wanita dalam siklus kekerasan dan eksploitasi," ungkap Peneliti Asia-Pasifik Hak Migran AI, Norma Kang Muico, dalam siaran pers yang diterima
VIVA.co.id
, pada Selasa, 10 Februari 2014.


Mereka juga menyebut dengan adanya keputusan tersebut, seharusnya menyadarkan Pemerintah Hong Kong agar tidak menutup mata terhadap praktik penyiksaan di wilayah mereka.


"Tindakan nyata untuk mengakhiri hukum dan peraturan yang mendorong penganiayaan yang mengerikan seperti ini telah lama tertunda," imbuh Norma.


Apa yang menimpa Erwiana, lanjut mereka merupakan potret buram bagaimana buruh migran diperlakukan di Hong Kong. Saat proses persidangan, Erwiana menyampaikan bagaimana dia sering dipukuli, dikurung, terancam dan tidak diberi makan oleh Law selama 8 bulan.


"Pengadilan juga mendengar bahwa mantan majikan Erwiana ikut menyita paspor, tidak membayar upah dan tidak memberikan hari libur," jelas mereka.


Amnesti menyebut sudah sepatutnya pemerintah bertindak untuk melindungi BMI. Data yang dimiliki Amnesti Internasional, total terdapat sekitar 300 ribu pekerja rumah tangga migran di Hong Kong.


"Sekitar separuhnya berasal dari Indonesia dan hampir semuanya perempuan. Mereka terpikat dengan janji pekerjaan bergaji. Namun, dalam realitanya sangat jauh berbeda," imbuh mereka.


Para buruh migran itu mengalami jam kerja tanpa henti, pembatasan kebebasan bergerak, penyitaan dokumen identitas, fisik, kekerasan seksual dan kekurangan makanan. Selain itu, siklus tersebut seolah tidak bisa terputus, lantaran hukum di Hong Kong menetapkan aturan jika kontrak mereka diputus, maka para buruh migran ini hanya memiliki waktu 2 pekan untuk memperoleh pekerjaan dan visa baru. Atau, mereka harus angkat kaki dari Hong Kong.


"Tekanan ini mengakibatkan para pekerja untuk tinggal di situasi yang melecehkan karena mereka tahu jika meninggalkan pekerjaan sebelumnya, tidak mungkin bisa memperoleh pekerjaan baru dalam dua pekan," kata Amnesti Internasional.


Selain itu, mereka tidak berani keluar, karena tingginya biaya yang telah dikeluarkan oleh para buruh migran agar bisa menjadi TKI di Hong Kong. Mereka juga butuh mengirimkan sebagian gajinya untuk menghidupi keluarga di Tanah Air. (ren)


Baca juga:


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya