Pengamat: Eksekusi Mati Nodai Hasil Konferensi Asia-Afrika

Serge Atlaoui
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA.co.id -  Pengamat hubungan internasional dari Universitas Paramadina, Dinna Wisnu, berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati gelombang kedua yang direncanakan pada Selasa esok, justru menodai Deklarasi Konferensi Asia Afrika yang digagas oleh Indonesia pekan lalu.

Dua Tahun Haris Azhar Simpan Rahasia Freddy Budiman

Sebab, di saat Indonesia berada di garda terdepan untuk menyuarakan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kemerdekaan penuh Palestina, RI malah tetap memberlakukan eksekusi mati.

Padahal, menurut Dinna yang dihubungi VIVA.co.id melalui telepon pada Minggu 26  April 2015, salah satu inti dalam penegakkan HAM, yakni menghargai hak hidup manusia. 

Ketua Program Pasca Sarjana Bidang Diplomasi itu mengingatkan Indonesia telah menekan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan di dalamnya terdapat sebuah pasal yang menyebut tindak kejahatan yang serius hanya genosida. Hal tersebut, terdapat di dalam artikel enam poin kedua.

"Indonesia sebagai salah satu negara yang meneken konvensi itu memiliki keterikatan dengan kesepakatan itu. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang beberapa kali menjadi ketua di Dewan HAM PBB, sehingga dihormati oleh banyak negara," ujar Dinna.

Terlebih di dalam dokumen itu, turut terdapat kalimat siapa pun yang dijatuhi hukuman mati memiliki hak untuk mencari pengampunan atau pengurangan hukuman.

Dinna menyebut, Indonesia tidak bisa membandingkan dengan Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Malaysia, karena mereka tidak ikut meneken ICCPR. Sementara itu, Indonesia memiliki komitmen moral untuk mematuhi itu.

"Indonesia sebenarnya pernah ditegur oleh PBB sejak tahun 2013 lalu, karena tidak mematuhi isi ICCPR. Nilainya saat itu diberikan E," kata dia.

Sementara itu, terkait dengan ancaman Prancis, Dinna menyarankan sebaiknya dipertimbangkan secara serius dan ditanggapi tidak emosional. Sebab, jika hubungan kedua negara memburuk, akan menyulitkan agenda Indonesia di PBB seperti reformasi  PBB dan kemerdekaan penuh bagi Palestina.

Terlebih, Prancis merupakan bagian dari kelompok negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.

"Dalam konstelasi politik luar negeri, memburuknya hubungan luar negeri kepada satu negara atau kawasan justru akan membuat Indonesia menjadi lemah secara keseluruhan. Politik luar negeri kawasan dapat diibaratkan seperti sebuah kaki meja," ujar Dinna.

Jika salah satu kakinya lemah, kita akan tergantung pada kaki meja lain. Dinna menambahkan, jika eksekusi tetap dilakukan terhadap warga Prancis, bisa berdampak terhadap kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan.

Sebab itu, Dinna menyebut, tidak ada salahnya jika hukuman mati dibatalkan di menit-menit terakhir.

"Jika kita membatalkan hukuman mati, bukan berarti Indonesia lemah. Sebagai imbalannya, Indonesia bisa meminta keseriusan negara-negara tersebut untuk mempersempit ruang gerak industrialisasi narkoba dan membantu advokasi RI terhadap WNI yang juga terancam hukuman mati," ujar dia.

Dinna mengatakan, kerja sama antarnegara dibutuhkan untuk memberantas tindak kejahatan lintas batas seperti narkoba. Itu sebabnya, dalam kasus penangkapan pemimpin gembong narkoba Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, intelijen Negeri Kanguru membagikan informasi itu ke polisi Indonesia.

"Tujuan mereka bukan supaya kedua orang itu dihukum mati, tetapi Australia justru menginginkan mereka hidup, agar bisa membuka jaringan narkoba yang lebih besar lagi," tambah dia.

Polri, TNI dan BNN Diminta Cabut Laporkan Haris Azhar

Dampak Ekonomi

Selain merugikan Indonesia di pergaulan dunia internasional, dengan memberlakukan eksekusi mati juga bisa merugikan Indonesia di bidang ekonomi. Dalam keadaan normal, hubungan luar negeri RI, khususnya di bidang ekonomi sangat bergantung terhadap Tiongkok.

"Jika hubungan antara RI dengan Eropa renggang karena eksekusi mati ini, Tiongkoklah yang diuntungkan, karena perekonomian Indonesia akan bergantung ke Negeri Tirai Bambu," ujar Dinna.

Di saat yang bersamaan, jika produk Indonesia tidak berhasil tembus pasar Eropa karena isu ini, peluang itu bisa direbut oleh Tiongkok untuk memasarkan produk mereka ke benua tersebut.

"Dalam perdagangan, produk-produk Indonesia justru tengah berkompetisi dengan produk Tiongkok seperti minyak kelapa sawit mentah, manufaktur, energi dan telekomunikasi. Jika hubungan RI dengan Eropa memburuk, jadi celah bagi produk Tiongkok masuk ke Eropa," tambah Dinna.

Dinna menambahkan, pada titik ini, mantan Gubernur DKI Jakarta itu perlu mendengarkan pendapat semua pihak dan melihat masalah dari berbagai sisi. Dia turut menyarankan, agar Jokowi meminta para pembantunya yang tak berkompeten dalam mengelola masalah ini berhenti mengeluarkan komentar.

Sebab, nantinya malah akan menimbulkan reaksi lebih keras dan negatif dari masyarakat dunia. (asp)

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar

Johan Budi Harusnya Tanggapi Laporan Haris Azhar

Kepolisian harusnya tenang dan tidak mempermasalahkan Haris Azhar.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016