Ketegangan Laut Tiongkok Selatan Dominasi KTT ASEAN

Reklamasi Tiongkok di Pulau Spratly
Sumber :
  • CNES 2014/Distribution Airbus DS/IHS

VIVA.co.id - Pertemuan para pemimpin negara ASEAN di Kuala Lumpur, Senin 27 April 2015, didominasi isu ketegangan sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Padahal, seharusnya mereka membahas mengenai persiapan ke-10 negara jelang Komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di akhir tahun mendatang.

Kantor berita Reuters, Senin, melansir, pembukaan KTT dimulai dengan kritikan terhadap aksi Tiongkok melakukan reklamasi terhadap wilayah yang tengah disengketakan.

Laut China Selatan Memanas, Beijing: Siap-siap Perang

Sebuah pernyataan yang dikeluarkan saat upacara penutupan, menyebut reklamasi tersebut telah melunturkan kepercayaan dan keyakinan seperti staibilitas di wilayah LTS.

"Kami menegaskan kembali pentingnya membangun perdamaian, stabilitas, keamanan, dan kebebasan dalam navigasi dan penerbangan melintasi wilayah LTS," tulis dokumen penutupan.

Dalam dokumen pembukaan itu, memang tidak secara spesifik merujuk ke Tiongkok. Tetapi, pernyataan tersebut menjadi respons yang paling kuat ASEAN terhadap aksi reklamasi yang dilakukan Negeri Tirai Bambu.

Selain Filipina, menurut sumber diplomatik yang dimiliki Reuters menyebut keberatan secara diam-diam juga diangkat oleh Vietnam dan Indonesia.

Dalam pernyataan yang disampaikan Minggu kemarin, Menteri Luar Negeri Filipina, Albert del Rosario, mendorong agar ASEAN segera mengambil langkah untuk menghentikan reklamasi lahan di Pulau Spratly yang dilakukan Tiongkok.

ASEAN Disebut Lemah Ambil Sikap Soal Laut China Selatan

Del Rosario memperingatkan, jika negara-negara di kawasan gagal melakukan itu, mereka akan melihat Beijing secara de facto mengendalikan wilayah tersebut.

Sebab itu, Del Rosario mengajak negara ASEAN yang lain untuk bersatu menghentikan reklamasi. Menurut dia, reklamasi Tiongkok bertujuan untuk mengubah daerah tersebut sebagai pangkalan militer.

Hal tersebut, dianggap telah melanggar hak negara lain dan diduga membahayakan kehidupan laut. Del Rosario memperingatkan, jika ASEAN tidak cepat bergerak, Tiongkok akan merampungkan pekerjaan reklamasi sebelum negara di kawasan menyelesaikan kode etik tata kelakuan baik (COC).

Jika hal itu benar-benar terjadi, COC justru malah melegitimasi reklamasi yang dilakukan Tiongkok.

"Ancaman yang ditunjukkan dengan adanya reklamasi massif ini benar-benar nyata dan tidak bisa dibantah. ASEAN harus menunjukkan inisiatif kepemimpinan, sentralitas dan solidaritasnya," tegas Del Rosario seperti dikutip laman Fox News.

Dia menambahkan, ASEAN harus menunjukkan kepada dunia mereka memiliki solusi untuk bersikap demi kepentingan bersama.

Filipina pada tahun 2013 lalu, telah mengajukan keberatan mereka ke pengadilan internasional. Rencananya, pada Juli mendatang, pengadilan akan memutuskan apakah akan mendengar keberatan Filipina.



Sementara itu, Tiongkok tetap beranggapan pembangunan di area Pulau Spratly masih masuk ke dalam teritori kedaulatan mereka.

"Sehingga, pembangunan itu dianggap beralasan, adil dan sesuai dengan aturan hukum. Pembangunan itu tidak berpengaruh terhadap negara lain," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hong Lei.

Tiongkok mengklaim hampir 90 persen wilayah di LTS yang diyakini memiliki sumber kekayaan alam minyak dan gas berlimpah. Namun, wilayah tersebut juga diklaim oleh beberapa negara ASEAN seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan.

Menurut Reuters, memang tidak hanya Tiongkok saja yang telah membangun fasilitas seperti landasan udara bagi pesawat di pulau yang mereka klaim, tetapi aksi Tiongkok terlihat lebih dramatis dan jelas.

Sementara itu, Negeri Jiran yang pada tahun ini menjadi Ketua ASEAN, justru terlihat berusaha untuk meredam ketegangan dan tidak memfokuskan isu tersebut. Dalam sebuah draf pernyataan pada 16 April lalu yang dilihat Reuters, tidak menyebutkan sama sekali mengenai reklamasi Tiongkok.

Dalam jumpa pers, Perdana Menteri Najib Tun Razak mengatakan, dia berharap ASEAN bisa menyelesaikan permasalahan dengan Tiongkok dengan cara yang konstruktif.

"Kami berharap bisa mempengaruhi Tiongkok. Sebab, hal tersebut turut menjadi kepentingan mereka, agar tidak terlihat berselisih dengan ASEAN," ujar Najib.

Terlebih, dia melanjutkan upaya apa pun yang menyebabkan kawasan menjadi tidak stabil, justru ikut merugikan Tiongkok. (asp)

Foto terbaru soal pembangunan di wilayah sengketa di Laut China Selatan.

Tiongkok Bangun Hanggar Pesawat di Laut China Selatan

Padahal Pengadilan Arbitrase memutuskan klaim China tak berdasar.

img_title
VIVA.co.id
9 Agustus 2016