Sumber :
- Athena/Intime
VIVA.co.id
- Sedikitnya 1.200 migran tiba di pulau Kos, Yunani sepanjang pekan ini, menambah puluhan ribu migran yang telah tiba lebih dulu di Yunani, serta negara-negara Uni Eropa lainnya.
Dilansir dari laman Daily Mail , Sabtu, 30 Mei 2015, pulau Kos yang dikenal sebagai lokasi tujuan wisata, sumber pemasukan bagi negara yang tengah didera utang itu, kini terancam diboikot oleh para turis.
Ribuan migran yang tiba dengan kapal-kapal pedagang manusia dari pelabuhan Bodrum, Turki, memadati pantai dan lokasi lain di pulau Kos, di mana biasanya para turis bebas berjalan dengan rasa aman.
Baca Juga :
Menkumham: Indonesia Kewalahan Hadapi Imigran
Baca Juga :
Kapal Terbalik, Lima Migran Tenggelam di Yunani
Dilansir dari laman Daily Mail , Sabtu, 30 Mei 2015, pulau Kos yang dikenal sebagai lokasi tujuan wisata, sumber pemasukan bagi negara yang tengah didera utang itu, kini terancam diboikot oleh para turis.
Ribuan migran yang tiba dengan kapal-kapal pedagang manusia dari pelabuhan Bodrum, Turki, memadati pantai dan lokasi lain di pulau Kos, di mana biasanya para turis bebas berjalan dengan rasa aman.
Laut Aegean telah menjadi pintu belakang baru, bagi para migran dari Timur Tengah dan Afrika, untuk masuk ke negara-negara maju di Uni Eropa, selain Italia dengan menyeberangi Laut Mediterania.
Kos sebelumnya dikenal sebagai pulau yang tenang dan aman, lokasi sempurna untuk liburan keluarga. Warga lokal tidak pernah mengunci pintu rumah, turis wanita bisa berjalan ke mana pun di malam hari dengan aman.
Kini hampir setiap hari, setidaknya dua kapal migran dari Suriah atau Afghanistan, tiba dari Turki. Pantai yang indah sudah dipadati oleh para migran, yang terpaksa tidur dimanapun, karena tidak memiliki tempat tinggal.
"Kami tidak punya uang setelah membayar orang Turki di Bodrum, yang membawa kami dengan kapal ke sini. Kami butuh obat untuk bayi kami yang demam. Kami telah kehabisan air dan popok," kata Ali Yagdoobi, seorang teknisi listrik dari Kabul.
Ali datang ke Yunani bersama istri dan bayinya yang berusia enam bulan, Alisa, juga beberapa saudara dan kerabat mereka, termasuk dalam 1.200 migran yang baru tiba di Yunani.
Menurut hukum Uni Eropa, migran dapat tinggal di negara pertama tempat mereka tiba di Eropa, sambil menunggu waktu selama tiga minggu, untuk memperoleh dokumen dari kantor polisi setempat.
Mereka mengajukan klaim pencari suaka, lalu menunggu keputusan apakah permintaan diterima atau tidak, untuk kemudian dideportasi. Namun sebagian besar migran, tidak menjadikan Yunani sebagai tujuan utama.
Sebagian besar menolak diambil sidik jarinya, dengan dalih HAM, hingga mereka dapat tiba di negara Uni Eropa yang lebih makmur. Yunani pun, sepertinya lega melihat kepergian ribuan migran itu.
Sementara mereka yang bersedia melakukan proses identifikasi, disebut akan sangat bahagia setelah mendapatkan dokumen, sebagai dasar untuk melakukan perjalanan ke negara Eropa lainnya, seperti Inggris atau Jerman.
Konflik di Suriah, serta negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika, membuat angka migrasi melonjak. Kantor Statistik Nasional Inggris mengatakan, sebanyak 641.000 migran tiba di Inggris pada 2014.
Sindikat yang terkait dengan kelompok militan ISIS, diyakini berada di balik perdagangan manusia, salah satu sumber pembiayaan bagi perang mereka di Irak dan Suriah. Migrasi juga jadi cara ISIS menyusupkan militan ke Eropa.
Pekan lalu, seorang tersangka yang membantu serangan ke Musem Bardo di Tunisia, menewaskan sedikitnya 21 orang, ditangkap setelah menyusup ke Eropa bersama para migran yang masuk dengan kapal ke Italia.
Krisis migran yang terjadi di Eropa saat ini, bermula dari digulingkannya rezim Moammar Kadhafi di Libya pada 2011. Konflik berkepanjangan, tidak ada pemerintah, Libya telah menjadi negara gagal.
Sindikat perdagangan manusia beroperasi dengan leluasa di Libya, mengambil keuntungan dari penderitaan ratusan ribu orang Afrika, yang mereka selundupkan dengan kapal ke Italia.
Konflik di Libya berawal dari pemberontakan, dilakukan oleh kelompok-kelompok yang disokong oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain yang menjadi sekutunya, memanfaatkan revolusi di Tunisa dan Mesir sebagai pemicu.
Setelah Kadhafi tumbang, Barat kembali menyokong pemberontakan di Suriah, yang kemudian menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal, sebagian bahkan kehilangan nyawa.
Hilangnya perdamaian di negara-negara, yang kini didera kekacauan akibat campur tangan Barat, tampaknya harus turut dinikmati juga oleh Uni Eropa, dengan krisis migran yang kini mendera mereka.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Laut Aegean telah menjadi pintu belakang baru, bagi para migran dari Timur Tengah dan Afrika, untuk masuk ke negara-negara maju di Uni Eropa, selain Italia dengan menyeberangi Laut Mediterania.