Mengapa Aliansi Sino-Rusia Menguat

Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin
Sumber :
  • REUTERS/Sergei Karpukhin
VIVA.co.id
Viral Jukir Liar di Alfamart Rusak Mobil Pelanggan, Polisi Tetapkan Tersangka
- Perbatasan sepanjang 4.200 kilometer antara Rusia dengan China, bukan alasan utama yang membuat kedua negara menjadi sekutu strategis, diperlihatkan dengan menguatnya aliansi Sino-Rusia.

Berencana Kuasi Reorganisasi, BUMI Bakal Gelar RUPST dan RUPSLB

Kedua negara itu hampir memulai perang pada 1969, memperebutkan pulau kecil dalam Konflik Perbatasan Sino-Soviet. Mereka juga masih bersaing pengaruh hingga hari ini.
Beberapa Selebgram Ditangkap Polres Jaksel, Siapa Saja Mereka?


Laman
Al Jazeera
, Senin, 27 Juli 2015, menyebut Kremlin mulai menjadikan Beijing sebagai sekutu strategis baru, akibat upaya terbaru AS mendominasi dunia, paska berakhirnya Perang Dingin.


"Moskow kini lebih dekat ke Beijing daripada ke Berlin," kata Dmitri Trenin dari Carnegie Moscow Center. Aliansi Sino-Rusia telah menghasilkan salah satu kesepakatan energi terbesar dalam sejarah, juga militer dan perdagangan.


Setelah runtuhnya Soviet pada 1991, Moskow membangun persekutuan geostrategis dengan Berlin, yang akan mengandalkan sumber daya Rusia untuk merespon supremasi Amerika Serikat (AS).


Tapi sanksi yang dijatuhkan Eropa atas Rusia pada 2014, untuk mematuhi keinginan AS, menjadi katalis yang memutar poros perhatian Rusia ke China, termasuk untuk penjualan minyak dan gas.


Rusia yang mengandalkan pemasukan dari penjualan energi, kini mengekspor lebih dari 30 juta ton minyak mentah setahun ke China. "Setelah sanksi, China menjadi negara paling menarik untuk memasok peralatan dan material," kata Gennady Shmal.


Namun Presiden Serikat Produsen Minyak dan Gas Rusia itu menyebut, China berbeda dengan dua lusin negara Eropa, yang sebelumnya mengkonsumsi hidrokarbon Rusia selama beberapa dekade.




Sejak Juni, Rusia menjadi pemasok minyak terbesar China, menggantikan Arab Saudi dan Angola. Tapi Moskow kini harus berhadapan dengan konsumen yang pemilih. "China adalah negosiator yang alot," kata Gennady.


Pakar China dari Institut Far East, Yakov Berger, mengatakan sejauh ini masih ada batasan. Rusia dan China belum memutuskan, untuk membangun aliansi penuh yang ditujukan pada Barat, terutama AS.


Sekalipun dengan publikasi jabatan tangan dan perjanjian, kemitraan Rusia-China masih jauh dari setara. Beijing tidak tergesa-gesa untuk membela Moskow di semua front.


Walau China menentang sanksi yang dijatuhkan Barat, terkait dengan konflik Ukraina, tapi Beijing belum mengakui aneksasi Rusia atas Crimea. Rusia dan China juga belum sepenuhnya menjadi mitra dagang.


Beijing menjadi mitra perdagangan kedua terbesar Moskow setelah Uni Eropa, sebaliknya Rusia hanya tiga persen dari total perdagangan China. Kedua negara belum dapat menjadi sekutu sepenuhnya, karena persoalan pengaruh.


"Apakah Moskwo setuju memainkan peran subordinasi?" kata Berger. Namun itu menurutnya tergantung pada tindakan Barat selanjutnya. Tekanan AS dan Eropa yang semakin besar, bisa menjadi katalis perubahan yang signifikan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya