Perang Gengsi China dan Jepang di Kereta Cepat

Pameran Kereta Cepat China di Senayan City
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id
Jokowi Beber 'Mantra' RI di Forum Ekonomi Islam Dunia
- Tender proyek kereta cepat Jakarta - Bandung akhirnya diputuskan Indonesia akan bekerjasama dengan China. Pemerintah tidak mengumumkannya secara resmi kepada publik, tapi berita mengejutkan itu datang dari pernyataan pemerintah Jepang beberapa hari lalu. 

Jokowi: Jumlah Peserta Tax Amnesty Baru 344 Orang
Adalah Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Suga pada 29 September lalu, menyampaikan kekecewaannya di depan media setempat, atas penolakan pemerintah Indonesia terhadap proposal proyek itu, yang disodorkan pemerintah Jepang. 

Dana Rp11 Ribu Triliun Milik WNI Seliweran di Luar Negeri
Dilansir dari Shanghaiist, Suga mengatakan Jepang sudah menawarkan proporsal terbaik. Apalagi, pra studi kelayakan proyek ini sudah dilakukan bersama pemerintah Indonesia sejak rezim kepemimpinan lalu, dimulai pada awal 2014. 

"Ini tidak dapat dimengerti sama sekali. Saya secara jujur mengatakan kepada delegasi Indonesia bahwa ini sangat disesalkan," ucap Suga. 

Tidak hanya menyampaikan penolakannya, delegasi Indonesia yang datang ke Tokyo, juga menyampaikan pemerintah Indonesia secara garis besar sudah menerima proposal yang diajukan China. Meskipun, belum ada studi kelayakan yang jelas dan baru diajukan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. 

Keputusan itu juga mengejutkan, karena sebelumnya pemerintah Indonesia sudah menolak proposal kereta cepat Jakarta-Bandung yang diajukan Jepang dan China. Alasannya karena biaya konstruksi terlalu tinggi dan meminta kedua negara membuat proposal baru untuk kereta cepat medium. 

Keputusan pemerintah tersebut ternyata direspons lebih cepat China, belum lama ini, menyerahkan proposal baru pembangunan proyek itu. Tanpa jaminan utang dari pemerintah Indonesia, atau menggunakan anggaran belanja negara Indonesia untuk proyek itu. 

Merespon hal tersebut, Suga menyampaikan keraguannya terkait kelayakan proposal baru China. Karena untuk membangun kereta cepat tanpa pendanaan pemerintah merupakan hal yang tidak realistis, mengingat proyek ini strategis dan diinisiasi oleh pemerintah. 

Apalagi menurutnya investasi yang dibutuhkan tidak sedikit. Proyek pembangunan kereta cepat diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp73 triliun. 

"Ini tidak umum. Saya ragu ini akan sukses," kata Suga. 

Kantor berita Reuters, Rabu, 30 September 2015 melansir pengumuman ini merupakan kemenangan mutlak bagi Tiongkok. Sebab, berarti visi Presiden Tiongkok, Xi Jinping: "one belt one road" atau "satu rel satu jalan" akan terealisasi.

Visi tersebut berisi inisiatif untuk membangun sebuah jaringan yang terdiri atas pelabuhan, kereta, dan jalur kereta cepat untuk membantu mengembangkan perdagangan, investasi, dan pengaruh di suatu daerah. 

Proyek kereta cepat ini memiliki gengsi yang tinggi, karena menurut beberapa analis internasional, siapa pun yang berhasil memenangi proyek itu, bisa menjadi calon terbesar untuk proyek jalur kereta di kawasan Asia Tenggara, termasuk yang menghubungkan Kuala Lumpur dan Singapura.

Sementara itu, bagi Jepang, "kekalahan" tersebut sulit diterima. Khususnya, usai Perdana Menteri Shinzo Abe di menit-menit terakhir masih berupaya memberikan tawaran lebih baik ketimbang Tiongkok. 

"Pemerintah Jepang yakin proposal kami masih lebih baik dan menjanjikan. Kami berharap transparansi dan keadilan dari Pemerintah Indonesia. Kami berharap di masa depan, mereka akan lebih transparan dan adil," kata pejabat Kedutaan Jepang, Kijima. 


Klaim tidak tebang pilih

Pemerintah mengklaim tidak pilih kasih mengenai hal ini, keputusan dikelaurkan berdasarkan hasil rapat terbatas secara maraton yang terus dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dengan para pembantunya terkait proyek tersebut. 

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan, Pemerintah pun sangat berhati-hati dalam menyampaikan hal ini kepada pihak yang merasa dirugikan. Karena itu, pada akhirnya Jokowi memutuskan harus ada delegasi khusus yang menyampaikan secara langsung kepada pemerintah Jepang mengenai hal ini. 

"Itu sudah dibahas, presiden sudah mengutus Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas, Sofyan Sjalil sebagai special envoy, yang menyampaikan kepada pemerintah Jepang mengenai apa yang sudah menjadi keputusan pemerintah Indonesia," ujarnya di Jakarta, Kamis 1 Oktober 2015. 

Keputusan pemerintah itu menurutnya dilandasi tiga hal, pertama, kerjasama proyek ini harus dilakukan dengan skema business to business. Kedua, ditegaskan proyek ini tidak boleh menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

Kemudian menurutnya, pemerintah tidak akan mengeluarkan jaminan sepeserpun terhadap proyek ini. Dalam hal juga ditegaskan, keputusan ini dibuat dan ditawarkan pada kedua pemerintah yaitu Jepang dan China yang mengikuti tender ini.

"Jadi bukan diputuskan tapi ditawarkan bagi siapa yang sanggup dan bisa," ungkapnya. 

Dia mengungkapkan, Jepang tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut. Karena skema pembiayaan Jepang untuk investasi internasional yang diberikan langsung dari pemerintahnya tidak bisa melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada. 

"Selain itu bagaimanapun kami ingin, proyek ini tidak hanya menyenangkan mereka (China atau Jepang). Tapi, bagaimana kita mendapatkan benefit sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya bagi rakyat dan pemerintahan kita," tegasnya. 

Dia pun meyakini, keputusan ini tidak akan mengganggu hubungan kerjasama ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Jepang. Sebab, masih banyak proyek pemerintah yang ditawarkan ke negara matahari terbit tersebut. 

Hal ini menurutnya juga menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam memutuskan siapa pemenang tender tersebut. Karena itu, Jepang diharapkan dapat memahami apa yang menjadi keputusan pemerintah ini. 

"Ada project power plan yang sebagai kontraktor utama adalah Jepang. Jadi, bener-bener memperhatikan hubungan yang panjang antara Indonesia Jepang dan China," tegasnya. 

Syarat untuk China

Pemerintah menegaskan, memberikan tender ini ke China ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi negara tirai bambu tersebut. Antara lain, ketepanan waktu pengerjaan proyek. 

Menteri BUMN, Rini Soemarno menggungkapkan, pemerintah berambisi untuk dapat memulai proyek tersebut pada tahun ini. Pekerjaannya ditargerkan selesai pada 2018 dan mulai beroperasi pada 2019. 

"Jadi memang salah satu yang kita tekanka tentunya bahwa waktu kita bangun," ujarnya di Jakarta, 1 Oktober 2015. 

Proyek ini pun menurutnya harus didominasi oleh pekerja dalam negeri, sehingga ekonomi Indonesia dapat ikut terdorong. Kecepatannya pun diatur dengan batas yang pemerintah mau, yaitu 250 kilometer (KM) per jam batas minimum dan 300 KM batas maksimum. 

Menurut Rini, yang terpenting adalah masa pengoperasiannya, harga yang ditetapkan harus dapat terjangkau. Infrastruktur penunjang operasional moda transportasi ini juga harus memiliki standar Internasional. 

"Kita minta sertifikasi international mengenai safety, persignalannya, ini yang paling utama," tegasnya. 

Dia melanjutkan semua prasyarat tersebut akan dicantumkan dalam joint venture agreement yang akan ditandatangani kedua pihak. Saat ini negosiasi sedang dilakukan. 

"Kami sudah mengkalkulasi semuanya, dan sekarang kami sedang negosiasi terms and conditionnya," ungkapnya. 

Untuk tahap selanjutnya menurut Rini, Kementerian BUMN juga sedang melakukan kajian BUMN mana saja yang akan dilibatkan dalam proyek ini. Sejauh ini ada empat perusahaan plat merah yang sudah dipilih. 

"Yang diputuskan ini konsorsium Jasa Marga, Wijaya Karya, PTPN VIII dan Kereta Api Indonesia," ungkapnya.

Pihaknya berharap finalisasi joint venture agreement ini selesai dalam bulan ini. Dengan skema pembiayaan yang ditawarkan selama 40 tahun dengan bunga tetap sebesar dua persen.

"Kami harapkan dalam bulan ini. Skema pembiayaan kan mereka tawarkan 40 tahun dari China of Development Bank (CDB). 10 tahun graceperiod (periode pencairan) dan 30 tahun tenor pengembalian. Bunga 2 persen fix," ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani kepada VIVA.co.id , Kamis 1 Oktober 2015 menyoroti mengenai persyaratan ini. Dia menegaskan meskipun harus Indonesia harus mendapatkan keuntungan dari kerjasama ini, persyaratan ini harus mampu dipenuhi oleh China. 

Karena kepentingan masyarakat dipertaruhkan pemerintah. "Tiongkok harus betul-betul jamin kualitas produknya. Kalau teknologinya tidak teruji, ya, kita rugi," tegasnya. 


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya