Laut China Selatan dan Kegalauan AS

Kawasan Laut China Selatan yang disengketakan.
Sumber :
  • Reuters

VIVA.co.id - Dampak putusan Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, yang memenangkan Filipina atas China soal klaim Laut China Selatan, pada Selasa, 12 Juli lalu, benar-benar membuat Amerika Serikat harus memutar otak.

Pasalnya, China menolak mentah-mentah putusan Pengadilan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu. Sementara, Filipina tetap ogah mengikuti keinginan Beijing untuk melakukan dialog bilateral sebagai ‘jalan keluar’.

AS menghadapi dilema. Satu sisi, China dianggap sebagai kompetitor sekaligus rekan bisnis. Sedangkan, sisi lain, Filipina merupakan sekutu Washington di Asia Tenggara.

Menurut Greg Poling, pakar Laut China Selatan di Washington's Center for Strategic and International Studies, AS telah gagal untuk menekan masalah secara efektif, sehingga masalah ini makin memanas.

"Kita semua harus khawatir bahwa kasus ini tidak lebih dari sebuah catatan kaki saja. Masyarakat internasional hanya bisa protes namun tak bisa berbuat apa-apa," kata Poling, mengutip situs Reuters, Kamis, 28 Juli 2016.

Putusan arbitrase adalah kekalahan memalukan bagi China. Washington menilai putusan itu bukan menjadikan suasana tenang dan damai, namun justru menempatkan pada situasi yang berbahaya.

Kendati demikian, AS bersama Uni Eropa berucap bahwa China dan Filipina harus mematuhi putusan lantaran sifatnya mengikat secara hukum.

Dean Cheng, pakar China dari Heritage Foundation, mengungkapkan, Washington tampaknya enggan mendesak Beijing lebih keras untuk mematuhi putusan internasional itu.

"Pertimbangannya banyak. Selain China sebagai mitra ekonomi sekaligus pesaing, pemerintahan Presiden Obama akan berakhir dan berlangsungnya pemilihan presiden. Saya rasa AS akan menahan diri dan tidak berusaha untuk frontal," kata Cheng.

Keengganan AS untuk terlibat lebih jauh dimanfaatkan China dengan mengklaim zona identifikasi pertahanan udara di wilayah sengketa.

Selain itu, manuver China sudah membuahkan hasil, di mana ASEAN gagal mencapai kesepakatan mengenai sengketa maritim dalam sebuah pernyataan bersama (Joint Communique), dalam ASEAN Ministerial Meeting (AMM) di Vientiane, Laos.

Kamboja dan Laos menolak pernyataan apa pun terkait putusan pengadilan internasional melawan Beijing.

Baik Poling maupun Cheng mengkhawatirkan bahwa Beijing akan mengambil tindakan lebih berani saat menjadi tuan rumah pertemuan Kelompok 20 Negara Ekonomi Besar (G-20) pada 4–5 September 2016 di kota Hangzhou, Zhejiang.

Kalahkan 11 Negara, Siswa Indonesia Sabet Emas Kompetisi Matematika Internasional di Australia
OCS Indonesia (Doc: Natania Longdong)

Industri Facility Manajemen Indonesia di Atas Vietnam dan Kamboja

Industri Facility Management (FM) yang memasok pekerja outsourcing di Indonesia mengatakan bahwa pasar Indonesia lebih baik dari Vietnam dan Kamboja.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024