AS 'Tidak Ikhlas' Tiongkok Rebut Laut China Selatan

Dewi Fortuna Anwar.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Avra Augesty

VIVA.co.id – Pernyataan kontroversi calon Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson, yang mengatakan China dilarang memasuki wilayah sengketa Laut China Selatan, dinilai sebagai isyarat bahwa AS 'tidak ikhlas' pengaruhnya di Asia direbut.

Seandainya Militer China Perang Udara Lawan India, Siapa yang Menang?

Pengamat Politik Luar Negeri Indonesia, Dewi Fortuna Anwar mengatakan, pernyataan Tillerson adalah bukti bahwa AS tidak akan melepaskan cengkeramannya di Asia Timur, khususnya Laut China Selatan.

"Saya kira itu sudah merupakan pandangan awal pemerintahan Trump di mana AS tidak akan membiarkan satu negara pun menguasai Laut China Selatan," ujar Dewi, di Jakarta, Kamis, 12 Januari 2017.

Dituding Berpihak, Luhut Beberkan Pengaruh China Bagi Ekonomi RI

Menurutnya, apabila Tillerson memang menyatakan seperti itu artinya AS tetap fokus ke wilayah Asia, seperti pemerintahan Barack Obama lakukan sebelumnya.

Sebab, kata Dewi, awalnya banyak yang cemas jika AS akan tidak terlalu fokus ke Asia sejak Trump resmi terpilih menjadi Presiden AS ke-45.

WHO Enggan Terapkan Larangan Perjalanan untuk China

Ia juga menilai mantan bos perusahaan energi, ExxonMobil ini, adalah sosok yang pragmatis, visioner, suka menganalisa dan tidak basa-basi. Hal itu bisa dilihat dari gaya berbicara dan profesi yang ia jalani sebelumnya, seorang pebisnis di bidang perminyakan.

"Menurut saya, siapa pun presiden dan menlunya, AS akan tetap mempertahankan kebijakan kebebasan navigasinya di Laut China Selatan," ungkap Dewi.

Di mata Dewi, Tillerson merupakan sosok yang selalu menganalisis risiko sebelum memutuskan sesuatu, memanfaatkan peluang yang ada, serta meminimalisir potensi konflik.

Meski sama sekali tidak berpengalaman di bidang politik, Dewi juga mengatakan bahwa Tillerson sudah paham bagaimana cara berhubungan baik dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Hal ini sangat berbeda dengan menlu-menlu AS sebelumnya, seperti John Kerry dan Hillary Clinton, yang memang punya latar belakang politik dan mengerti tentang kebijakan luar negeri AS.

"Seorang CEO perusahaan besar memang harus seperti itu. Ia harus mempertimbangkan risiko sebelum mengambil keputusan. Saya kira dia akan mengaplikasikan hal itu saat resmi menjabat menlu. Just wait and see."

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya