Kedubes AS Ramai-ramai Kirim Nota Keberatan pada Trump

Ilustrasi imigran.
Sumber :
  • Reuters/Mike Theiller

VIVA.co.id –  Departemen Luar Negeri Trump menerima sejumlah pesan kabel dari para diplomat. Isi pesan itu adalah mengkritik perintah eksekutif Trump soal pembatasan imigran. Gedung Putih mengomentari surat tersebut dengan komentar, "lakukan atau tinggalkan."

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 Ungkap Keamanan saat Peliputan Belum Terjamin Penuh

Draf memo tersebut bertajuk  "Perbedaan Saluran," yang isinya menyampaikan perbedaan pandangan atas perintah eksekutif yang disampaikan Trump. Memo tersebut dikirim kepada Menteri Luar Negeri dan pimpinan tinggi lainnya, dengan argumentasi kebijakan tersebut akan menjadi kontraproduktif dan merusak gambaran Amerika di luar negeri.

"Hasil akhir dari larangan tersebut bukanlah menurunkan potensi serangan teror di Amerika Serikat, malah menurunkan nama baik AS di mata internasional dan meningkatkan ancaman pada ekonomi kita," demikian tertulis dalam memo yang disampaikan oleh Reuters, 31 Januari 2017.

Buka Puasa Bersama Wartawan, Irjen Sandi Bicara Pentingnya Peran Media Kawal Agenda Nasional

Dokumen itu juga menyampaikan bahwa kebijakan itu akan memperkeruh hubungan AS dengan negara-negara terdampak, meningkatkan sentimen anti-Amerika, dan melukai mereka yang datang ke AS untuk alasan kemanusiaan seperti yang datang untuk berobat. "Selain itu, kebijakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar Amerika, yaitu non-diskriminasi, bersikap adil, dan memberi sambutan hangat untuk warga asing yang datang berkunjung dan imigran," demikian tertulis dalam dokumen.

Juru bicara Gedung Putih, Sean Spicer, mengatakan tahu mengenai memo tersebut. Namun ia yakin media yang menulis dan melaporkan soal perintah eksekutif tersebut telah melebihi proporsi dan berlebihan. 

"Apakah para birokrat karier tersebut punya masalah dengan ini? Saya rasa mereka bisa memilih salah satu, terus menjalankan program tersebut, atau mereka bisa pergi," ujar Spicer saat pengarahan harian, seperti diberitakan oleh Reuters, 31 Januari 2017.

Donald Trump: Sudah Saatnya Israel Hentikan Perang Mereka di Gaza

Pejabat AS di Departemen Luar Negeri mengaku telah menerima banyak sekali pesan kabel dari sejumlah Kedubes AS di berbagai negeri sepanjang akhir pekan. Mereka melaporkan kecemasan atas perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Trump.

Menurut mereka, negara tuan rumah menyampaikan rasa tak suka atas perintah tersebut. Dan Kedubes AS menerima pertanyaan, bagaimana mereka mengimplementasikan hal tersebut dengan keamanan nasional, dan pejabat lainnya menerima keluhan bahwa kebijakan itu sangat buruk.

Sebuah memo kabel dari Jakarta, Indonesia, mengatakan, ”media sosial di Indonesia menjadi gaduh dan  menganggap perintah tersebut sebagai suatu bentuk Islamophobia dari pemerintahan baru," ujar seorang pejabat yang membacakan memo tersebut.

Sementara sebuah memo dari Khartoum, Sudan, mengatakan, ”para pebisnis di Sudan khawatir perintah tersebut akan melukai kemampuan mereka memikat pebisnis di AS untuk berinvestasi ke Sudan setelah pencabutan sanksi AS seminggu sebelumnya," demikian tulisan dalam kabel tersebut.

Pemerintahan Obama mengambil langkah dengan mencabut embargo yang dikenakan pada Sudan sejak 20 tahun yang lalu. Pemerintahan Obama membebaskan aset, dan membebaskan Sudan dari sanksi finansial karena bersedia membantu AS memerangi ISIS dan kelompok ekstremis lainnya.

Kedubes AS di Baghdad mengatakan, “kebanyakan warga Irak melihat perintah tersebut sebagai penghinaan pada rasa kebanggaan nasional mereka atas negara (sebagai bagian dari dunia di mana kebanggaan dan harga diri dianggap lebih penting dibanding dibanding sinyal-sinyal dukungan," ujar seorang pejabat mengutip memo kabel dari Baghdad.

Namun pemerintah Irak, yang selama ini setia membantu AS memerangi kelompok ekstremis dan menerima lebih dari 5.000 tentara AS belum memberikan pernyataan resmi atas perintah eksekutif Trump.

Pejabat tersebut mengatakan, saat ini ada sekitar 7.000 kontraktor di Irak yang berhubungan dengan misi AS di Irak. Sekitar 2.000 di antaranya memegang paspor reguler yang bisa terdampak jika Irak melakukan langkah yang sama. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya