Di AS, RI Jelaskan Peninjauan Kembali Perjanjian Investasi

Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Budi Bowoleksono (kiri).
Sumber :
  • KJRI New York

VIVA.co.id – Indonesia memang tengah berupaya menarik minat sebanyak-banyak investor asing untuk menanamkan modal maupun berbisnis di Tanah Air. Namun, investasi asing di Indonesia harus didasari oleh perjanjian-perjanjian yang fair, berkeadilan, sehingga tidak sampai merugikan pemodal maupun mengekang negara tuan rumah dalam menerapkan kedaulatan ekonominya.

Profil Selebgram Chandrika Chika yang Ditangkap Polisi Terkait Dugaan Kasus Narkoba

Demikian inti sari yang disampaikan saat para perwakilan diplomatik Indonesia bertukar pikir dengan kalangan akademisi dan praktisi bisnis Amerika Serikat dalam suatu diskusi yang membahas "Perkembangan Baru dalam Perjanjian Investasi Internasional" di Universitas Columbia, Kota New York, awal pekan ini.   

Menurut Konsulat Jenderal Republik Indonesia di New York, seperti yang disiarkan hari ini, diskusi tersebut berlangsung cukup hangat, mengingat semakin besarnya perhatian masyarakat internasional terhadap perkembangan perjanjian investasi lintas negara.

Rusia Makin Gencar Menyerang, AS Janji Secepatnya Akan Kirim Senjata ke Ukraina

Duta Besar RI untuk AS, Budi Bowoleksono, secara khusus menggarisbawahi bahwa forum tersebut - yang dihadiri 100 pakar dan mahasiswa yang menggeluti hukum investasi - diharapkan dapat memberi manfaat bagi Indonesia, yang sedang meninjau kembali perjanjian-perjanjian investasi serta berbagai proses perundingan perdagangan bebas yang saat ini sedang berlangsung demi memajukan diplomasi ekonomi.

"Tujuan utama proses peninjauan kembali yang dilakukan oleh pemerintah tersebut adalah untuk menyeimbangkan aspek perlindungan hak-hak investor dan keleluasaan yang dimiliki pemerintah untuk mengambil dan menerapkan kebijakan ekonominya," kata Budi.

Media Korea Selatan Soroti Sepak Terjang Shin Tae-yong di Timnas Indonesia U-23

Lisa Sach - Direktur Columbia Centre on Sustainable Investment - mengungkapkan bahwa keberadaan perjanjian investasi telah tumbuh secara pesat, sehingga jumlahnya melampaui 3.000 perjanjian investasi. "Keberadaan perjanjian tersebut telah mendorong berbagai kritik karena dianggap dapat mengganggu keleluasaan negara dalam menerapkan kedaulatan ekonominya," kata Sach.  
 
Pengalaman Indonesia

Selain isu liberalisasi investasi yang sering menjadi kontroversi dalam berbagai perundingan perjanjian investasi, diskusi itu juga membahas keterkaitan peraturan perundangan nasional dengan hukum investasi internasional. Pengalaman Indonesia dalam melakukan peninjauan kembali semua perjanjian investasi sejak 2013 juga menarik perhatian para peserta seminar.

Dalam kaitan itu, Konsul Jenderal RI di New York, Abdulkadir Jailani, memaparkan sejumlah tantangan dan persoalan teknis yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam melakukan peninjauan kembali perjanjian investasi.

"Peninjauan kembali tersebut difokuskan pada upaya membatasi hak-hak investor, sehingga penyalahgunaan dapat dihindari. Selain itu, penegasan kembali hak negara untuk menerapkan kedaulatan ekonominya serta mengatur mekanisme penyelesaian sengketa dengan investor asing sesuai dengan hukum nasional," kata Jailani.

Sementara itu, Todd Tucker, pakar hukum investasi dari Roosevelt Institute, mengungkapkan bahwa iklim investasi global saat ini -khususnya pada era Presiden Donald Trump- diwarnai oleh keadaan yang sangat tidak menentu.

"Salah satu isu yang menjadi keprihatinan banyak pihak adalah rencana Amerika Serikat untuk menerapkan Broader Adjustment Tax (BAT). Melalui pajak ini, semua perusahaan di Amerika Serikat harus membayar pajak untuk semua barang yang diimpor dan akan digunakan di Amerika Serikat. Penerapan BAT tersebut secara teknis merupakan pelanggaran hukum investasi internasional," kata Tucker.

Seminar yang berlangsung pada 27 Februari waktu setempat itu diselenggarakan KJRI New York dengan menggandeng Columbia Centre on Sustainable Investment, yaitu lembaga penelitian dan pengembangan hukum investasi di Columbia University. Acara ini didukung oleh Perwakilan Bank Indonesia, BRI, BNI, dan BKPM di New York. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya