Buruh Anak Pengungsi Rohingya Digaji Tak Manusiawi

Anak-anak pengungsi Rohingya di penampungan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – International Organization for Migration (IOM) menemukan, anak-anak pengungsi Rohingya dipaksa bekerja berjam-jam dan dibayar dengan sangat rendah. Tak hanya itu, mereka juga  mengalami kekerasan seperti pemukulan dan penganiayaan.

Pengungsi Rohingya Tetap Dibantu tapi RI Perhatikan Kepentingan Nasional, Menurut Kemenkumham

Sekitar 450 ribu anak-anak, atau sekitar 55 persen dari populasi pengungsi, tinggal di permukiman padat dekat perbatasan dengan Myanmar, setelah melarikan diri dari kekerasan di tempat tinggal mereka di Rakhine.

IOM menemukan, bahwa anak-anak ditargetkan oleh agen tenaga kerja dan didorong untuk bekerja dengan orangtua mereka yang mengalami malnutrisi dan kemiskinan di kamp-kamp.

11 Warga Rohingya Meninggal di Perairan Barat Aceh, Menurut Laporan Imigrasi

Menurut temuan tersebut, seperti diberitakan Asia One, anak laki-laki dan perempuan Rohingya yang berusia tujuh tahun akan dipastikan bekerja di luar pemukiman mereka.

Anak laki-laki bekerja di peternakan, lokasi konstruksi dan kapal penangkap ikan, juga di kedai teh dan sebagai pengayuh becak. Sementara anak perempuan biasanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh untuk keluarga Bangladesh, baik di kota resor dekat Cox's Bazar atau Chittagong, yang jaraknya sekitar 150 kilometer dari kamp pengungsi.

6 Jenazah Diduga Pengungsi Rohingya Kembali Ditemukan di Perairan Aceh

Saat diwawancara, tujuh keluarga yang mengirim anak-anak mereka untuk bekerja mengaku mendapat kondisi kerja yang buruk, upah rendah maupun pelecehan.

Salah satunya adalah Muhammad Zubair. Dengan mengenakan kaos sepak bola lusuh, bertubuh mungil dan berusia 12 tahun, ia mengaku upah 250 taka per hari, namun berakhir dengan hanya dibayar sebesar 500 taka  atau sekitar Rp80 ribu untuk 38 hari kerja di pembangunan jalan.

"Pekerjaan itu sangat berat, meletakkan batu bata di jalan," katanya, sambil berjongkok di depan pintu gubuknya di kamp Kutupalong. Dia juga mengaku menerima pelecehan verbal oleh majikannya saat dia meminta lebih banyak uang.

Zubair kemudian mengambil pekerjaan di sebuah toko teh selama sebulan, melakukan dua shift per hari dari jam enam pagi sampai lewat tengah malam. Dia mengaku tak diizinkan meninggalkan toko dan hanya diizinkan berbicara dengan orangtuanya lewat telepon satu kali.

"Ketika saya tak dibayar, saya kabur. Saya takut karena saya pikir tuannya akan datang ke sini bersama orang lain dan membawa saya lagi," ujarnya. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya